Teologi Keinfakan
Oleh: Riwayat
Berbicara infak tentu bukan sesuatu yang aneh, tetapi sesuatu kata yang sangat familiar di telinga, karena kata infak sering kita dengar diberbagai pengajian keagamaan, berbagai media, baik elektronik maupun media cetak. Pertanyaannya sudah berapa jauh teologi keinfakan itu merasuk dalam diri dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita? Sebagai salah satu perintah Tuhan, seberapa jauhkah infak memberi andil dalam pembentukan spiritual kita?
Bagaimana dengan infak yang telah kita lakukan, atau telah kita bayarkan, apakah telah membawa ke tataran teologis? Apabila belum maka secara tidak langsung kita belum mencapai target teologi keinfakan, teologi keinfakan yang penulis maksud adalah sebuah konsep ideal tentang infak yang dirumuskan oleh Allah. Infak merupakan bagian ajaran agama yang secara langsung berhubungan dengan ketuhanan. Dengan demikian infak pada dasarnya adalah konsep membangun kesadaran social sekaligus kesadaran religi.
Dalam tataran social, obyek dari infak adalah orang yang terkena bencana, orang fakir miskin, anak yatim dan orang yang kurang beruntung, orang miskin, orang terlantar, anak yatim, tidak mampu sekolah karena alasan biaya, sedang pada saat yang sama kita menjadi tetangganya, kita tahu dan kita mampu untuk menolongnya, tetapi kita tidak lakukan maka secara jelas kita belum sampai pada konsep teologi keinfakan. Kita dianggap sebagai pendusta agama.”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna,”(QS. Al-Maun:1-7)
Kita mempunya baju bekas atau makanan yang menurut kita sudah tidak layak, sebagai contoh kita mempunyai pisang, pisang yang kita beli cukup banyak sehingga berlebih, dan akhirnya tidak habis, lalu kita berfikir daripada dibuang lebih baik diberikan kepada pembantu kita, atau kita berikan kepada tetangga kita, jika itu kita lakukan maka sebenarnya secara teologi keinfakan, amal yang kita lakukan akan tertolak dan sia-sia.”Barang siapa bersedekah/berinfak seharga kurma, namun dari hasil yang baik dan Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik, (HR. Bukhari).
Berkorban untuk Allah apakah dengan jalan bersedekah atau berinfak dengan sesuatu yang buruk/tidak berkualitas maka hal itu akan ditolak oleh Allah. Di sisi lain, perbuatan kita yang berlebih/pemborosan menjadikan diri kita berada dalam persekutuan/persaudaraan dengan setan.”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(QS. Al-Isra:27).
Apakah infak yang telah kita berikan kepada para korban gempa, banjir dan tsunami atau bahkan untuk membangun mesjid akan bermanfaat bagi kita, jawabnya bisa ya bisa tidak, bermanfaat dan berpengaruh bagi diri kita apabila infak tersebut kita lakukan karena Allah semata bukan karena ingin dipuji, atau ingin mendapatkan simpati, atau karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi, misalnya agar tercapai tujuan politiknya.
Dalam pandangan teologis keinfakan, infak dapat dianggap bermanfaat dan bernilai pahala di sisi Allah jika infak tersebut, pertama dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah, kedua, sesuatu yang diinfakkan berasal dari yang baik dan halal, ketiga dalam berinfak tidak dibarengi dengan menyebut-nyebutnya, kelima, dalam berinfak tidak diiringi dengan tindakan yang menyakitkan.”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(QS. Al-Baqarah:264).
Sebenarnya, ketika kita keluar dari garis teologis keinfakan di atas, maka akibatnya adalah pada tataran spiritual, akibat tersebut sangat membahayakan bagi kualitas spiritual kita, infak kita akan bernilaiseperti debu di atas batu yang sirna terkena hujan, lebih gawatnya lagi kita tidak akan mendapatkan manfaat dari infak yang kita lakukan, dan infak tersebut tidak mampu menembus tabir kegelapan yang menyelimuti hati kita, karena Allah telah menutup dan tidak memberi petunjuk kepada hati kita.
Akibat teologis kejiwaan dari infak yang tidak sesuai dengan konsep Allah banyak dilupakan. Sehingga terjadi kekosongan spiritual, tidak heran jika banyak orang kaya yang susah, banyak orang kaya yang gelisah, tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, kenapa terjadi yang demikian, karena secara psikologis kejiwaan, hatinya memberontak karena masih banyak saudaranya yang lain yang masih susah, miskin dan sengsara.,”Orang-orang mukmin itu saling menyayangi, saling mencintai dan merekatkan simpati, seprti halnya satu tubuh yang jika salah satu organnya mengaduh kesakitan maka seluruh tubuh akan terpanggil untuk tidak tidur dan merasakan demam,”(HR. Bukhari dan Muslim).
Secara teologis kejiwaan manusia yang tidak berinfak secara benar akan merasa gelisah, dan kehidupanya tidak tenang. Sebaliknya manusia yang berinfak ikhlas karena Allah dan tidak mengiringi infaknya dengan perkataan dan perbuatan menyakitkan serta tidak berkeinginan untuk dipuji orang maka Allah menjanjikan kepada orang tersebut terjauh dari rasa takut dan terbebas dari bersedih hati,” Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(QS. Al-Baqarah:262). Allahu Alam.
Komentar :
Posting Komentar