28 Oktober 2007

Memaknai Takdir

MEMAKNAI TAKDIR DALAM KEHIDUPAN

Oleh : Riwayat, S.Pd.I

Tidaklah terjadi suatu peristiwa di muka bumi ini dan pada diri kamu sekalian, melainkan sudah ada dalam catatan sebelum Kami membeberkannya. Sesungguhnya hal itu bagi Tuhan perkara mudah (QS. Al-Hadid:22). Sungguh Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sanggup mengubah apa yang ada pada dirinya.(QS. Al-Ra’du: 11). Secara sekilas kedua kutipan firman Allah di atas, menunjukkan pertentangan satu sama lain, ayat 22 surat Al-Hadid dengan jelas menginformasikan bahwa takdir adalah suatu kepastian, dalam arti nasib manusia sudah ditentukan oleh Allah sejak azali.

Sebagai orang muslim yang taat pasti percaya akan adanya takdir Allah, kepercayaan kepada takdir merupakan rukun iman yang keenam, hal ini berdasarkan paham ahli sunnah wal jamaah, yang meyakini bahwa percaya kepada takdir termasuk rukun iman, perlu juga diketahui bahwa ada juga kelompok Islam yang lain (Mu’tazilah), kelompok Mu’tazilah berpendapat jika Tuhan telah menentukan perbuatan manusia sejak azali, maka Tuhan tidak adil, sebab orang yang ditakdirkan berbuat jahat masuk neraka, sedangkan yang ditakdirkan berbuat baik masuk surga, kalau hal ini terjadi maka Tuhan tidak adil, maka menurut menurutnya yang adil adalah manusia dihukum atau diberi ganjaran sesuai dengan pilihanya apakah akan berbuat baik atau buruk.

Semua muslim sudah kenal apa itu takdir, yang jelas takdir sangat erat kaitannya dengan ketentuan Allah yang dirahasiakan dan tidak dapat ditolak oleh manusia. Semua manusia dikuasai oleh takdirnya, maka tidak ada seorangpun yang dapat lari dari takdir, untuk itu jalan terbaik dan paling selamat adalah menerima takdir tersebut dengan lapang hati dan penuh kerelaan, karena sebaik-baik manusia dalam menerima takdir adalah menerima dengan penuh keridaan/ kerelaan dan kesabaran. Akan tetapi pemaknaan takdir yang salah akan mengantarkan seseorang pada sikap menyerah atau fatalisme, maksudya adalah sikap jiwa yang menyerah pada keadaan tanpa ada usaha, menyerah kalah sebelum berperang.

Takdir adalah suatu kepastian dan ketetapan Allah, takdir adalah hokum alam yang pasti terjadi, ada kepastian tersebut membuat manusia harus tunduk pada takdir hokum alam/ketetapan Allah. Ketundukan kepasrahan (islam) merupakan bagian integral dari keimanan seseorang. Keimanan tersebut menuntut seseorang untuk beramal dan bertindak secara teratur sesuai hokum Allah, sebab hokum-hukum Allah/takdir Allah membutuhkan usaha, kerja dan ikhtiar. Dan hokum-hukum itu menjadi bermacam-macam pilihan, alternatif-alternatif bagi manusia, dari berbagai alternatif tersebut, tentu ada yang terbaik, maka untuk memilih hal tersebut manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar. Disinilah manusia diberi peluang untuk mengubah nasibnya. Al-Quran menginformasikan pada ayat 11 surat Al-Ra’du, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa nasib seseorang tidak akan berubah sebelum kaum itu merubah dirinya (nasibnya). ayat 11 Al-Ra’du merupakan konsekuensi logisnya dari surat Al-Hadid ayat 22, meskipun nasib seseorang telah ditetapkan oleh Allah, tetapi manusia/seseorang diberi kebebasan, peluang dan pilihan untuk mengubah nasibnya yang telah ditentukan oleh Allah.

Proses mengubah nasib atau takdir bukan suatu usaha yang mudah , tetapi perlu mujahadah yang sungguh-sungguh, mujahadah tersebut diwujudkan dengan berusaha dan berikhtiar. Usaha dan ikhtiar tersebut hendaknya dilakukan dengan semaksimal mungkin, sebab usaha /kerja yang baik akan menjadi doa yang tulus, sedangkan doa yang tulus akan menjadi sebuah kerja yang bernilai baik bagi manusia di hadapan Allah. Hal ter sebut menunjukkan bahwa antara usaha dan doa merupakan dua hal yang bertautan dan menjadi sebuah kesatuan yang utuh, adanya usaha yang disertai dengan doa merupakan gabungan kekuatan dahsyat, kekuatan energi yang dimaksud adalah ikhtiar dan tawakkal, M. Amin Akkas mengatakan bahwa doa bukan sekedar olah batin, tetapi juga olah otot dan olah nalar, doa adalah gabungan antara ikhtiar dan tawakkal. Seorang manusia dalam rangka mengubah nasibnya/takdirnya.

Kesempatan mengubah nasib merupakan sikap merdeka yang di berikan Allah kepada manusia, meskipun Allah telah menetapkan nasibnya, namun Allah juga masih memberi celah dan kesempatan kepada manusia untuk menentukan nasibnya, hal ini dapat kita pahami dari ayat 11 Al-Ra;du tersebut. Kesempatan mengubah nasi ini tentu memerlukan energi dan upaya yang serius, sebab tanpa ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh tentu apa yang diinginan dan diupayakan akan tidak maksimal, padahal Allah menurunkan pertolongannya hanya kepada orang yang berpayah-payah dalam bermujahadah. Imam Ali bin abi thalib pernah menegaskan bahwa Tuhan tidak akan pernah menurunkan Tangan bantuan-Nya kepada kami, sebelum Dia melihat kami bepayah-payah dalam berjuang. Perkataan Iman Ali ini dalam realitas kehidupan banyak kita temui, bahwa seseorang yang sukses dalam hal apapun selalu dilalui dengan perjuangan yang sungguh-sungguh dan bersusah payah, fakta sejarah dalam kehidupan ini memunculkan kata-kata bijak yang mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, kata bijak ini makin membuktikan dan menguatkan tesis di atas bahwa usaha yang sungguh-sungguh biasanya akan mendapatkan hasil yang tidak mengecewakan, dan Allah-pun tidak akan menyia-yiakan jerih payah hambanya yang berusaha mengubah takdirnya, kalaupun gagal dalam proses mengubah takdir ia tidak putus asa, dan di sinilah letak keimanan seseorang terhadap takdir Allah tersebut. Ketika seseorang telah berusaha dengan maksimal disertai ikhtiar, doa dan tawakkal, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan, maka disitulah takdir Allah telah berlaku, disitulah kadar keimanannya sedang diuji.

Meskipun demikian, kita tidak boleh hanya pasrah begitu saja dalam hidup ini, karena merasa tidak ada gunanya berusaha, sebab semua sudah ditentukan oleh Allah, semuanya sudah menjadi takdir, sikap dan pemahaman seperti ini akhirnya membawa kita terjebak pada paham yang hanya nerimo(menerima/fatalisme) tanpa ada usaha. Sebagai seorang beriman hendaknya tidak berpaham seperti itu, dengan hanya menerima tanpa ada usaha. Kita dapat mengatakan bahwa segala sesuatu telah menjadi takdir atau nasib bila peristiwa atau kejadian tersebut telah terjadi, tetapi jika belum terjadi, maka kejadian yang menimpa belum dapat dikatakan sebagai takdir, sebab dalam hal ini masih ada kesempatan dan celah bagi manusia untuk mengubah nasib/takdirnya, celah dan kesempatan untuk mengubah nasib tersebut adalah ikhtiar, usaha, doa dan tawakkal.

Memaknai takdir bukan sekedar mengimani bahwa semua yang telah terjadi merupakan kehendak dan dari Allah, namun lebih dari itu takdir dapat dimaknai sebagai suatu ajaran yang mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, dengan mengembalikan segala sesuatu kepada Allah akan membentuk hati kita makin tenang, menjadikan diri kita menjadi pribadi yang utuh. Keutuhan dan ketenangan batin kita terjadi akibat efek spiritual yang spontan dari hati yang pasrah dan yakin kepada takdir Allah, sebab segala segala sesuatu telah tertulis di dalam kitab( Lauh Mahfuzh). Tiada suatu bencana yang menimpa di Bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid:22).

Memaknai takdir bukan untuk hal yang belum terjadi, akan tetapi untuk hal yang telah terjadi, apabila segala sesuatu telah terjadi maka kita hendaknya mengimani dan memaknai peristiwa tersebut sebagai takdir. Dengan pemahaman demikian diharapkan kita tidak putus asa dalam menerima kegagalan dan tidak sombong ketika mendapatkan kesuksesan, terkadang kita dengan sombongnya membanggakan diri bahwa semua yang kita peroleh, kesuksesan yang kita dapatkan adalah usaha kita, kemampuan kita, kepandaian kita, sering peran Allah seolah hilang dalam tataran keseharian kita, secara tidak sadar kita mengklaim diri kitalah yang menjadikan kita sukses. Kalau hal ini terjadi pada diri kita, maka telah terjadi pengingkaran kepada takdir.

Memaknai takdir yang salah pasang akan menjerumuskan seseorang pada menuhankan diri sendiri, semua karena dirinya sendiri sehingga Allah sebagai penguasa takdir manusia dilupakan. Keadaan ini menjadikan hati kita jauh dari rasa tawadhu, rasa kehambaan hilang dari diri kita, yang ada dalam diri kita adalah rasa kesombongan bila mendapatkan kesuksesan, dan keputusasaan bila mendapat kegagalan, hal ini terjadi karena Tuhan telah hilang dari diri kita. Tuhan yang telah menentukan takdir telah kita campakkan dalam lorong gelap kehidupan jiwa keangkuhan kita, nilai-nilai spiritual dalam hati kita timbuni dengan kecintaan dunia yang fana ini, semua hanya kita yang berperan Tuhan telah kita singkirkan dalam penentuan takdir. Kita terlalu percaya bahwa kitalah yang menentukan diri kita tidak ada peran tuhan dalam hidup kita.

Padahal, kalau kita mau mengkaji lebih jauh tentang takdir Allah, maka akan terlihat bahwa Allah membocorkan informasi mengenai takdir adalah agar manusia menyadari bahwa semua peristiwa dan kejadian adalah dari Allah, dan akan kembali lagi kepada Allah, sehingga bila terjadi sesuatu yang menyedihkan atau sesuatu kegagalan kita tidak keluhkesah, tidak berduka cita, dan sebaliknya bila mendapatkan kesuksesan dan nikmat tidak menjadi sombong dan membanggakan diri. “Kami Jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan beduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22).

Secara jelas, Allah memperingatkan bahwa dalam kehidupan kita tidak terlepas dari takdirnya, Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang benar dalam memaknai takdir akan selamat keluh kesah, duka cita dan putus asa, bahkan seandainya ia berhasil, tidak menjadikan dirinya sosok yang sombong dan membanggakan diri. Keterhindaran diri dari sikap sombong dan bangga akan diri sendiri menyelamatkan dirinya dari kehilangan keseimbangan hidup. Keseimbangan dimaksud adalah tidak berputus asa jika gagal dan tidak lupa diri jika mendapatkan kesuksesan/ keberhasilan. Ia menjadi pribadi yang tahu diri dan tidak gentar menghadapi kesulitan kehidupan di masa akan datang. Ketidakgentaran dalam menghadapi masa depan dilatarbelakangi oleh sikapnya yang benar dalam memanai takdir Allah dalam kehidupannya. Jadi percaya kepada takdir yang benar pemaknaannya sesuai dengan petunjuk Al-Quran akan mengantarkan seseorang kesuksesan hidup, Nucholis Madjid mengatakan bahwa Jika seseorang memaknai takdir sesuai dengan petunjuk Al-Quran akan menjadi bekal dalam menuai keberhasilan hidup. Allahu a’lam

Komentar :

ada 0 komentar ke “Memaknai Takdir”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra