26 November 2007

Memakai Jilbab; Keimanan atau Keterpaksaan

Oleh; Riwayat

Menarik untuk didiskusikan tulisan M Kosim LA,”Memakai Jilbab; Menutup Aurat atau Membungkus Aurat,”(Haluan,27/04/2007). Kosim menulis, “Kebanggaan yang tidak ternilai bagi setiap muslim tatkala menyaksikan putri-putri mereka mengenakan pakaian jilbab,” Kebanggaan tersebut dapat dilihat dari dua sisi yaitu kebanggaan karena mempunyai anak-anak solehah, patuh dan taat beragama, kebanggaan dari segi pendidikan, ternyata orang tua telah dianggap berhasil mendidik putri-putrinya dalam berakhlak terutama dalam berbusana Islami. Tetapi kebanggaan ini baru terbatas kepada aspek lahiriyah, karena secara lahiriyah putri-putri mereka berbusana muslimah dan Islami. Nah, yang menjadi permasalahan adalah apakah kesalehan lahiriyahnya juga diikuti oleh kesalehan batiniah? Apakah busana Islaminya juga diikuti dengan akhlak yang juga mencerminkan akhlak yang Islami? Apakah mereka memakai jilbab karena keimanan atau karena keterpaksaan? Atau memakai jilbab hanya sekedar mode belaka tanpa ada nilai-nilai religinya? Atau memakai jilbab hanya untuk menyembunyikan kekurangan?

Konsep ibadah dalam Islam tidak terlepas dari niat, niat seseorang dalam beribadah akan menentukan posisi ibadah atau ritual yang ia lakukan, jika niatnya salah maka ibadahnya juga akan salah, kalau seseorang beribadah karena ingin dipuji, maka pahala yang akan ia dapatkan adalah hanya sekedar mendapat pujian saja, dan ia tidak mendapatkan sedikitpun pahala dari Allah, termasuk masalah jilbab, perempuan yang memakai jilbab karena mode saja, maka ia tidak akan mendapatkan pahala berjilbab dari Allah, yang akan ia dapatkan adalah pujian dari orang lain, atau sesuai niatnya. Busana yang dipakai hanya mengantarkan dirinya pada tataran duniawi, sedang aspek ukhrawi ia tinggalkan, intinya, segala ibadah yang dilakukan tergantung kepada niat, Nabi Muhammad Saw, bersabda,”Sesungguhnya segala amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya pahala masing-masing orang bergantung kepoada apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan kehidupan dunia atau untuk mengawaini seorang perempuan (yang dicintai) maka pahala hijrahnya hanya terbatas apa niat yang telah ia tentukan/gariskan itu.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis di atas, dapat diambil makna dibalik niat dan hubungannya dengan berbusana Islami tadi, kalau dianalisa meskipun perempuan sama-sama memakai busana yang menutup aurat, terlepas memenuhi kriteria busana muslim atau tidak yang pasti dari segi lahiriah ada bedanya, mungkin juga ada kesamaan satu sama lain, itu kalau kita lihat dari luarnya , tetapi kalau kita lihat dan kita analisis lebih dalam terutama kepada aspek batiniah, maka akan terjadi perbedaan yang sangat signifikan, perbedaan dari segi batiniah atau niat mereka akan berbeda-beda, antara perempuan yang satu dengan perempuan yang lain, mungkin perempuan yang satu memakai jilbab karena ingin mendapatkan jodoh orang baik-baik, sedangkan perempuan yang lain, tergerak untuk memakai jilbab karena rasa malu kepada teman-temannya yang memakai jilbab, atau perempuan memakai jilbab karena ingin menyembunyikan kekurangan dan kelemahannya, kalau memakai jilbab kekurangan dan kelemahan pada dirinya akan tertutupi.

Ada juga perempuan memakai jilbab karena malu kepada mertua, malu dianggap sebagai menantu yang tidak sopan, menantu yang tidak solehah, ada juga perempuan memakai busana muslimah/jilbab karena takut peraturan, ia memakai jilbab karena keterpaksaan, memakai jilbab hanya untuk sekedar menghargai peraturan daerah (Perda), itu pun ia pakai hanya pada waktu tertentu dan tempat tertentu saja. Ada juag perempuan memakai busana muslim/jilbab karena melaksanakan perintah Allah, yang terakhir inilah yang paling baik, kerana Ia menyadari bahwa Tuhannya memerintahkan kepadanya untuk beribadah secara ikhlas dan tanpa paksaan, Allah berfirman,”Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agamanya,”(QS. Al-bayyinah: 5).

Uraian di atas, makin memperjelas siapa yang benar-benar ikhlas memakai busana Islami, dan mana yang terpaksa, seperti memakai busana karena Perda, mengikuti mode, menutupi aib, atau memakai busaha untuk kedok belaka? Tentunya, kebanggaan akan orang tua terhadap putri mereka yang memakai jilbab akan menemui kehampaan dan kegetiran, jika mereka mengetahui bahwa putri-putri mereka memakai busana bukan karena perintah Allah, tetapi karena yang lain. Kebanggaan hanya pantas bagi setiap orang tua muslim yang putri mereka memakai jilbab karena Allah semata. Kemudian bagaimana dengan orang tua yang putrinya memakai jilbab karena keterpaksaan, bukan karena Allah, bukan karena keimanan? Tentunya kebanggaan itu tidak ada artinya, kebanggaan yang semu belaka. Karena sebenarnya orang tua telah gagal dalam mendidik.

Kebanggaan itu makin tidak layak dan ironis, jika kita perhatikan di kehidupan sehari-hari, nasib jilbab hanya sebagai alat penolong, jilbab hanya dijadikan aksesoris belaka, jilbab hanya pelengkap, jika tidak dibutuhkan ia campakkan begitu saja. Nasib jilbab/busana muslimah, Islami makin menyedihkan, jilbab hanya menjadi kebutuhan sesaat, tiada makna religi ataupun ukhrowi. Kenyataan ini bertolak belakang dengan apa yang ditulis Kosim,”Seperti halnya di berbagai daerah si Sumatera Barat, para siswi di tingkat SMP dan SMA yang sudah tergolong remaja itu terlihat indah, anggun, cantik, menawan, dan mulia dengan mengenakan jilbab.” Kesemarakan itu., keindahan itu, berkibarnya jilbab itu hanya terlihat sesaat, ketika pagi menjelang para siswi-siswi itu berangkat sekolah, pada saat jam sekolah, hanya itu saja.

Bagaimana dengan pulang sekolah? Bukankah mereka memakai jilbab? Memang para siswi itu memakai jilbab, tetapi tidak semua, sebab banyak siswi yang ketika pulang sekolah, mereka melepas jilbabnya, jilbab (dalam artian kerudung) di lepas dan dimasukkan ke dalam tas. Itulah fakta yang sebenarnya terjadi di kalangan siswi-siswi pelajar di Sumatera Barat. Dari fakta itu dapat dianalisa, siapa sebenarnya yang ikhlas dalam memakai jilbab, dan siapa yang terpaksa. Keadaan ini menimbulkan tanda Tanya besar kenapa mereka melakukan hal itu? Bukankah itu perintah Allah yang harus dilakukan? Seperti halnya salat, puasa dan zakat? Apakah ada pengecualian terhadap jilbab, apakah jilbab hanya untuk sesaat saja? Padahal, mengenakan jilbab tidak mengenal waktu dan tempat.

Tetapi, di Sumatera Barat memakai jilbab masih memilih-milih waktu dan tempat, terutama bagi kalangan pelajar. Kalau mereka di sekolah mereka memakai jilbab, tetapi jika sudah pulang sekolah atau di luar jam sekolah, mereka menanggalkan jilbab mereka, kenyataan ini dapat dilihat di luar jam sekolah, kalau waktu jam sekolah jilbab banyak berkibar, jilbab menghiasi tubuh mereka, seluruh antero lingkungan sekolah memutih karena cahaya pantulan jilbab, tetapi tatkala mereka telah pulang, pergi ke pasar, mal, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan tempat hiburan jilbab menjadi sangat langka dilihat, terutama di kalangan remaja/ pelajar. Ketika di sekolah identitas muslim begitu kental, begitu terlihat, namun ketika mereka berada di luar jam sekolah identitas mereka sebagai muslimah hilang, tidak ada beda muslimah dengan yang tidak muslimah, lalu apa arti kebanggaan orang tua kepada mereka?

Padahal, menampakan perhiasan saja dilarang apalagi membuka aurat, Islam hanya memberi keringan menampakkan perhiasan, dan itupun hanya terbatas pada perhiasan yang biasa nampak, dan itu pun hanya untuk orang-orang tertentu, seperti saudara kandung, kedua orang tua, suami, anak, keluarga dekat, dan yang haram dinikahinya. Allah berfirman,”katakanlah kepada wanita yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasan, kecuali yang biasa nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saaudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,”(QS. An-Nur: 31).

Dalam ayat lain, Allah memberi keringanan tentang berbusana terhadap orang yang sudah tua/menepous,”Dan bagi perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid/menepous dan mengandung yang tiada ingin kawin lagi tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian/jilbab mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan., berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,”(QS. An-Nur: 60). Meskipun diberi keringanan dalam berbusana, tetapi Allah lebih menyukai mereka (perempuan tua/yang menepous) berbusana sopan. Meskipun diberi keringanan dalam berbusana, tetapi yang terbaik adalah tetap berbusana sopan dan menutup aurat.

Dengan demikian, yang diberi kelonggaran berbusana selain dalam kondisi di atas, juga diberikan untuk perempuan yang sudah tua/menepous, termasuk bagi anak kecil, juga dianjurkan untuk dilatih dan dibiasakan untuk memakai jilbab atau busana muslimah yang Islami. Kebiasaan dari kecil inilah yang akan berpengaruh kepada anak dalam menyikapi busana/jilbab muslimah yang Islami, apakah ia akan ikhlas mengenakannya atau terpaksa memakainya. Sebenarnya, anak tidak ikhlas memakai jilbab lebih disebabkan, pertama, pemahaman mereka yang masih dangkal akan hakekat makna jilbab, kedua, orang tua tidak membiasakan putrinya dengan berbusana muslim/berjilbab sejak kecil. Ketiga, terlahir dari keluarga yang kurang taat dalam beragama. Keempat, ,Pendidikan agama yang dangkal.

Sebenarnya, baik buruknya anak tergantung orang tuanya, apakah anak akan berperilaku sekuler, Yahudi, Nasrani, atau Majusi, bagaimana orang tuanya, mendidik itulah yang akan menjelma dalam diri anak-anaknya,”Setiap anak itu dilahirkan menurut fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau seorang Majusi”,(HR. Bukhari). Dalam hadis lain dikatakan,”Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik.”(HR. Ibnu Majah). Allahu A’lam*

Komentar :

ada 0 komentar ke “Memakai Jilbab; Keimanan atau Keterpaksaan”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra