Oleh: Riwayat
Beragama merupakan fitrah bagi manusia, fitrah yang ada sejak awal penciptaan. Tetapi apakah fitrah itu selalu ada dalam diri manusia? Pertanyaan yang wajar ketika seseorang mulai ragu dengan keberagamaannya, keberagamaan yang mulai tumbuh dan membutuhkan saluran untuk pengembangan, di waktu rasa ingin berilmu dalam beragama menggebu tidak semua orang paham dan mampu membedakan ilmu yang dibutuhkannya. Terkadang ilmu yang dicarinya bertolakbelakang dengan keinginannya beragama dengan ilmu.
Mungkin ada anggapan sebagian di antara manusia bahwa beragama
Meskipun beragama adalah fitrah sejak lahir, tetapi fitrah itu tidak akan tumbuh dan eksis di dalam diri seseorang tanpa ada niat untuk menumbuhkembangkan fitrah itu. Fitrah agama yang tidak diberi ruang untuk berkembang akan mati mengendap akibat tumpukan dosa. Maka untuk menghidupkan dan membangkitkan fitrah tersebut adalah dengan menempa diri dengan selalu menambah ilmu. Ketika seseorang telah berusaha menuntut ilmu, maka ia akan menjadi manusia yang mempunyai cahaya hidayah. Cahaya hidayah akan muncul ketika seseorang benar dalam menuntut ilmu. Menunut ilmu dianggap benar apabila sesuai dengan aturan agama.
Beragama tanpa ilmu akan cenderung melakukan kesesatan. Beragama tanpa ilmu akan menjerumuskan pelakukanya kepada mengada-ada dalam beragama/bi’dah. Dan bi’dah menurut Nabi Muhammad Saw adalah kesesatan yang nyata. Tidak itu saja
Dari hadis tersebut memberi peringatan secara tegas bahwa beragama tanpa ada ilmunya akan tertolak, amal yang tertolak tersebut akibat tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad. Kedua secara keilmuan amal yang dilakukannya tidak memenuhi kaidah keilmuan dalam beragama. Meskipun manusia memaksakan diri untuk beragam dengan tanpa ilmu maka yang terjadi adalah dditolaknya amal tersebut. Lebih dari itu beragama tanpa ilmu akan mengundang problem dalam kehidupan
Permasalahannya adalah ada sebagian di kalangan umat Islam sendiri yang merasa pandai, merasa ahli dalam menafsirkan doktrin keagamaan/wahyu, adanya klaim mampu dalam memahami agama menjadikan seseorang bebas memaknai keberagamaan. Keadaan ini makin keruh tatkala pemahaman tersebut masuk wilayah publik. Dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat yang enggan menambah ilmu keagamaannya. Sudah dapat diprediksi bahwa orang yang kurang ilmu agamanya akan cenderung terjebak dalam kesesatan dan mudah terpengaruh oleh ajakan dan anjuran serta bujukan. Hal ini terjadi karena orang awam dalam beragama merasa bahwa apa yang ia dapatkan adalah sesuatu kebenaran.
Kemudian timbul pertanyaan,bukankan mereka telah menuntut ilmu? Padahal telah dikatakan bahwa orang berilmu atau yang mencari ilmu tidak akan mudah sesat atau disesatkan oleh orang lain, lalu kenapa hal ini masih terjadi? Perlu dipahami bahwa penuntut ilmu yang terhindar dari kesesatan adalah penuntut ilmu yang bersandar kepada ajaran al-Quran dan sunah, dalam mencari ilmu hendaknya selektif dalam menentukan institusi atau guru yang akan dipercayai untuk mengajarkan agama kepada kita, untuk sekedar mencari aman dalam menuntut ilmu agama/ memahami agama pilihan yang bijak adalah masuk institusi, baik pesantren, perguruan atau sekolah-sekolah keagamaan, yang sudah diakui kebenarannya dan kelurusannya dalam memahami agama.
Terkadang tanpa pemikiran yang matang dan pertimbangan ada sebagian orang islam awam yang mengira bawa menuntut ilmu hanya sekedar menuntut ilmu tanpa memp;eratikan benar tidaknya ilmu yang didapatkan, terkadang tergoda oleh penampilan luar. Ibarat orang baru bercinta, mereka merasa bahwa cinta yang dirasakan adalah cinta yang sesungguhnya, sehingga mati-matian menjaga cinta dan berkorban demi cinta yang diyakininya sebagai cinta yang sebenarnya. Analogi seperti ini dapat juga terjadi pada para penuntut ilmu keislaman. Ketika kesadaran beragama mulai tumbuh, keinginan untuk menuntut ilmu mulai tumbuh terkadang tanpa seleksi menerima semua ilmu dan berbagai doktrin agama tanpa ada mengritisi dan penalaran, lebih berbahayanya menganggap apa yang diterima dalam pengajian/majlis ilmu sebagai kebenaran mutlak dan menutup diri untuk membandingkan dengan pendapat lain.
Pemahaman parsial terhadap suatu informasi dan pemahaman doktrin agama yang hanya menerima ulasan dari seorang guru akan mengiring seseorang kepada kultus mazhab. Menganggap kebenaran mutlak adalah apa yang dijelaskan oleh gurunya. Padahal, kebenaran mutlak hanya milik Allah, kebenaran yang diungkap manusia adalah kebenaran dari luar, bukan kebenaran yang diinginkan oleh Allah. Kesadaran kebenaran mutlak Allah hendaknya menjadi bagian dari kehidupan umat Islam yang ingin menimba ilmu keislaman. Kesadaran tersebut akan bermanfaat untuk membentengi diri dari taklid buta, mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan tanpa ada upaya mencari kebenaran dan pembanding terhadap informasi keagamaan tersebut.
Ketika seseorang membuka diri untuk membandingkan pemahaman sendiri dengan pemahaman dan pemikiran orang lain, maka jalan menuju kesesatan akan berkurang. Hal ini terjadi karena adanya proses transfer keilmuan di antara mereka, seperti saling tukar pikiran, diskusi dan tukar informasi pemahaman keagamaan. Keadaan ini menjadi batu loncatan untuk menuju kebenaran yang hakiki, kebenaran yang tidak sepihak, kebenaran yang dapat dipahami dan diakui secara tataran ilmiah religius. ”Dan ini akan menjadi bukti bahwa antara yang berilmu dengan yang tidak berilmu akan beda. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS.az-Zumar:9). Ayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa tidak akan pernah sama orang yang berilmu dengan tidak berilmu. Tidak akan pernah sama orang yang menuntut ilmu secara sembarangan dengan penuntut ilmu yang selektif dan hati-hati dalam menuntut ilmu.
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al-Mujadalah:11). Menuntut ilmu dengan penuh perhitungan, penalaran, pertemuan di forum ilmiah yang diakui oleh para ahli di bidang keagamaan dan ilmuwan akan membawa seseorang pada kesimpulan awal bahwa ilmu yang ia dapatkan di sebuah majlis ilmu akan menjadi bahan penyeimbang , penyaring berbagai informasi keagamaan dan pemahaman agama yang didapatkannya.
Hal tersebut tersirat dari ayat sebelas Mujadalah yang menggabungkan antara suasana majlis dan keutamaan orang yang menuntut ilmu. Ayat tersebut menggambarkan banyaknya peserta majlis ilmu, sehingga perlu untuk saling memberi ruang gerak dan tempat duduk kepada peserat/penuntut ilmu yang baru datang atau yang datang terlambat. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa menuntut ilmu bukan sesuatu yang dirahasiakan, tetapi menjadi kosumsi publik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa menuntut ilmu adalah sesuatu yang dipublikasikan, bukan bersifat rahasia. Kalau ada pengajian/majlis ilmu yang tertutup dari dunia luar/ dirahasiakan maka perlu dicurigai sebagai pengembangan ilmu yang menyalahi pemahaman dan keyakian orang banyak. Kecurigaan tersebut perlu, karen ada kemungkinan majlis yang bersifat tertutup akan mendoktrin jamaahnya dengan doktrin yang dianggap paling benar dibanding dengan oemahaman di luar kemonitas mereka. Aktivitas secara sembunyi /di bawah tanah yang dilakukan oleh pengajian al-Qwiyadah adalah bukti bahwa penyebar aliran sesat bergerak secara sembunyi-sembunyi. Realitas sepreti ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi para pencari ilmu agama. meskipun beragam membutuhkan imu, tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah agar selalu berhati hati dalam memilih dan bergabung pada kelompok pemgajian. Hal itu dilakukan agar kita terhindar dari kesesatan dan penyesatan.
Kehati-hatian yang kita lakukan menuntut ilmu agama tidak akan menutup jalan untuk mendapatkan ilmu, bahkan dengan kehati-hatian akan menjadikan diri sanggup berinteraksi secara wajar dan menuntut ilmu dengan benar. Dengan kebenaran dalam menuntut ilmu akan menjadikan keberagamaan kita sempurna dan berdaya guna bagi keasalehan hakiki. Kesalehan dibalut dan ditopang oleh ilmu yang sesuai dengan al-Quran dan sunah, akan menjadikan kita sebagai orang beragama dengan ilmu. Allahu Alam.
Komentar :
Posting Komentar