24 November 2007

Jihad : dalam Keluarga Menurut Islam

Dihimpun: Riwayat

A. Konsep, Tujuan dan Ketentuan Jihad
1. Pengertian Jihad
Kata jihad berasal dari bahasa Arab yaitu jahada, yujahidu mujahadah Kata jihad adalah isim masdar kedua yaitu “jahadatan” yang berarti bekerja sepenuh hati.[1] Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, jihad berarti usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, usaha sungguh-sungguh dalam membela agama Allah (Islam) dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga, berjuang melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam.[2]
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, jihad berarti mengorbankan segala kemampuan atau berjuang menghadapi berbagai kekuatan.[3] Dalam memberikan definisi jihad, para ulam mempunyai perbedaan pendapat. Ulama Fiqh berpendapat bahwa jihad berarti berperang melawan orang kafir, sedangkan ahli tasauf mengatkan bahwa jihad itu adalah melepaskan diri dari belenggu nafsu dan syetan. Ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa jihad itu berarti berdakwah kepada umat Islam berperang terhadap orang yang tidak menerima dakwah itu, baik dengan harta maupun dengan jiwa. Ulam mazhab Syafi’I memberikan definisi dan mengartikan jihad dengan perang melawan orang kafir untuk kemenangan Islam. Adapun menurut Ahmad Muhammadal-Hufy (Ahli Fiqh asal Mesir), mengartikan jihad dengan berjuang di jalan Allah SWT yang diwajibkan oleh syara’ dalam rangka mengadapi orang-oarang yang menusuhi agama atau untuk mempertahankan tanah air kaum muslimin dari musuh-musuh Islam.[4]
Sebagian orang Islam mendefinisikan jihad dengan perang. Apalagi kaum Orientalis menerjemahkan jihad itu dengan perang suci suci (Holy War). Ketika istilah ini digunakan, citra yang muncul dikalangan orientalis barat adalah para laskar yang menyerbu berbagai wilayah dengan memaksa orang-orang non muslim untuk masuk Islam. Begitu melekatnya citra ini, sehingga fakta dan argumen apapun yang dikemukakan oleh orang muslim, mereka orang-orang orientalis sulit untuk menerimanya.[5]
Jihad dalam Islam bukanlah perang suci sebagaimana yang diistilahkan oleh kalangan orientalis. Jihad dimaksudkan untuk memperbaiki dan meluruskan yang bengkok dalam kehidupan manusia. Sementara itu jiha menurut para Fuqaha’ ada beberapa macam. Pertama, jihad dalam makna ‘am, yaitu memberikan segala kesanggupan yang ada untuk kepentingan agama dan negara dengan berbagai macam cara yang ditempuh demi mencari keridhaan Allah semata. Kedua, jihad dalam mana khas, yaitu mempergunakan segala kemampuan dan kesanggupan yang ada untuk melancarkan perang atau guna mempertahankan agama. Jihad dalam makna khas ini jiuga dalam upaya untuk membela diri dari perbuatan penganiayaan dan kezaliman serta orang-orang yang suka berbuat kezaliman di atas bumi.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa jihad ‘am adalah mempergunakan kesanggupan yang telah dipikulkan kepada umat Islam. Sedangkan jihad dengan makna khas, berarti memberikan segala kesanggupan yang ada pada diri kaum muslim untuk keperluan membela dan mempertahankan agama dan tanah air. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa jihad itu ada empat tingkat yaitu jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan manusia, dan jihad melawan orang-orang munafik.
Sedangkan jihad melawan hawa nafsu itu terbagi kepada empat tingkat. Pertama, jihad melawan setan dengan cara selalu mempelajari ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW dan agama dengan benar, karena tidak akan ada kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali dengan ilmu dan agama. Kedua, jihad melawan setan dengan cara mengamalkan ajaran agama setelah mengetahui ajaran-ajarannya. Ketiga, berjihad melawan setan dengan melakukan dakwah di jalan Allah. Jika ini tidak dilakukan maka akan terjerumus kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, hendaklah berjihad melawan setan dengan kesabaran atas semua kesulitan yang dihadapi di jalan dakwah.
Sedangkan jihad melawan setan itu ada dua tingkat. Pertama, jihad melawan setiap lontaran setan kepada seorang hamba semisal keraguan, subhat dalam keimanan kepada Allah. Kedua, berjihad terhadap segala yang dilontarkan setan kepada manusia berupa keraguan jahad dari sahwat. Sedangkan jihad melawan orang-orang kafir dan orang munafik ada empat tingkat yaitu jihad dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad melawqan orang kafir lebih tepa6t dengan tangan atau dengan kekuatan, sedangkan jihad melawan orang munafik lebih tepat dengan lisan.
Menurut Sayyid Quthub jihad terbagi kepada beberapa bagian. Sebelum pergi berjihad ke medan perang harus melewati satu jihad yang lebih besar yang ada di dalam jiwa seseorang yaitu, jihad melawan setan, jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan segala ketamakan dan jihad melawan segala kepentingan individu dan keluarga.[6] Sedangkan jihad menurut Jama’ah Tabligh adalah memberikan segala kesanggupan yang ada untuk kepentingan agama dan negara dengan berbagai cara yang ditempuh demi mencari keridhaan Allah semata.
2. Tujuan Jihad
Perang dalam Islam tidak sekedar untuk berperang sebagaimana yang dipahami oleh sebagian manusia, juga bukan sebuah ibadah yang dilakukan secara terus menerus seperti sholat. Namun perang adalah ibadah yang memiliki sebab seperti zakat, puasa, dan haji. Zakat diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki harta yang telah mencapai nisab, harus dikeluarkan kepada orang-orang yang berada dalam kekurangan. Puasa dilakukan satu bulan dalam setiap tahun. Haji dilakukan satu kali dalam sepanjang usia bagi orang yang sudah memiliki kemampuan. Dan jihad dilakukan dilakukan ketika diperlukan dan untuk mencapai tujuan tertentu.
Jihad di jalan Allah bukanlah sebagai tujuan atau sasaran-sasaran itu sendiri, tapi ia juga sebagai jalan yang disyaria’tkan Allah untuk mewujudkan banyak tujuan, yang antara lain :
Pertama, menahan serangan musuh dan melawan kekuatan zhalim sehingga, terwujud keamanan. Prinsip kedatangan Islam adalah untuk mewujudkan dunia perdamaian, akan tetapi tidak semua pihak menerima prinsip itu. Sudah barang tentu mereka pihak-pihak yang berkehendak menghalanginya yaitu pihak-pihak yang tidak menghendaki adanya ketenteraman dalam kehidupan masyarakat, bahkan ingin mendatangkan kerusakan baik di lautan maupun di daratan.
Oleh sebab itu untuk menumpas keganasan dan kejahatan supaya tujuan Islam tercapai, maka diperbolehkan jihad atau berperang untuk melenyapkannya Sesuai dengan firman Allah SWT surat asy-Syura ayat 39-42 ,“Dan barang siapa yang apabila mereka diperlakukan dengan jahil mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah. Dan sesunggunya dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim,. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun untuk mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan sesungguhnya dosa itu atas orang-orang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak mreka itu mendapat azab yang pedih”
Sebagaimana diketahui inti sari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah meng-Esakan Tuhan semesta alam dan beribadah kepada-Nya. Sedangkan di sisi lain berbuat baik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan berpedoman kepada syari’at agama merupakan kewajiban yang bersifat abadi. Kedua, melindungi kebebasan untuk menyampaikan dakwah islamiyah. Kewajiban menyampaikian dakwah bagi umat islam baik secara individu maupun secara berkelompok merupakan misi suci yang harus ditunaikan disetiap waktu dan tempat. Apabila tugas suci ini tidak dilaksanakan, maka akan berdosa dan sikasan dari Allah SWT. Tugas suci ini telah dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya surat Ali-Imran ayat 104, “Dan Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung.”)
Selanjutnya dalam surat lain Allah SWT juga menerangkan “Dan telah dilaknati orang-orang kafir dan Bani Israil dengan lidah Daud dan Isya putra Maryam yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan aniaya (melampaui batas)mereka tiada melarang suatu yang munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah seperti yang selalu mereka perbuat itu” (Qs. Al-Maidah : 78-79)
3. Ketentuan Jihad
Islam menganjurkan jihad untuk tujuan defenitif atau pertahanan yang terlihat dalam beberapa aturan yang digariskan al-Qur’an di dalam berperang. Apapun ketentuan untuk berjihad atau perperang adalah sebagai berikut:[7] Pertama, wajib mengumumkan perang terhadap musuh. Menurut Imam Malik dan mazhab Zaidiyah, pemerintah Islam terlebih dahulu menyampaikan dakwah kepada musuh. Dengan kata lain sebelum perang dilancarkan terhadap kum musyrik, terldebih dahulu diseru untuk masuk Islam . Kalau mereka menolak, maka boleh tetap pada kepercayaannya tetapi harus membayar jizyah atau pajak jaminan atas diri mereka. Bila mereka tetap menolak, maka satu-satunya cara adalah mengadakan perang. Kedua, menurut mazhab Hambali yang mengatakan bahwa pengumuman perang tersebut tidak wajib dilakukan apabila pihak yang sebelumnya telah mempunyai ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Akibat pengkhianatan mereka secara sepihak terhadap perjanjian tersebut, maka umat Islam boleh memerangi mereka tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Firman Allah dalam surat an_Nisa’ ayat 89 ,“Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung dan jangan (pula) menjadi penolong.” (Qs. An-Nisa’ : 89). Ayat di atas menjelaskan bahwa orang kafir yang tidak menjaga perjanjian dan tanggungan terhadap kaum muslim, oleh karena itu kaum muslim tidak boleh menjadikan mereka sebagai penolong atau teman kecuali mereka dalam memeluk keimanan dan masuk Islam.[8]
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut Hukum Islam
1. Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut Hukum Islam
a. Hak Suami Istri menurut Hukum Islam
Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus atau sepantasnya menjadi milik.[9] Pengertian hak adalah sesuatu yang patut dimiliki atau dikuasai baik berupa benda maupun wewenang. Adapun yang dimaksud dengan hak suami istri dalam perkawinan adalah menurut hukum Islam adalah hal-hal yang sepantasnya menjadi milik suami.
Di dalam suatu perkawinan istri memiliki hak atas suaminya, Syayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya membagi hak isrti kepada dua bentuk, yaitu hak kebendaan seperti mahar dan nafkah dan hak rohaniyah, seperti memperlakukannya dengan adil jika suami berpoligami dan tidak boleh membahayakan istri.[10]
Sedangkan yang menjadi hak suami adalah bahwa suami berhak untuk ditaati dan dipatuhi oleh istri serta berhak mendapatkan pelayanan dari istri. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila aqad nikah telah berlangsung maka kedua belah pihak baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban satu sama lainnya.
b. Kewajiban Suami menurut Hukum Islam
Perkawinan merupakan perjanjian perikatan antara suami istri. Apabila aqad telah sah dan berlaku, akan timbul pula akibat hukumnya bagi kedua suami istri yang berupa hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban merupakan sesuatu yang perlu atau mesti diberikan baik berupa benda maupun berupa perbuatan. Kewajiban suami dan istri adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.[11] Adapun yang disebut dengan kewajiban saumi istri dalam perkawinan adalah hal-hal yang sepantasnya dan mesti atau harus dilaksanakan oleh suami atau istri. [12] Adapun Kewajiban suami terhadap istri diantaranya adalah :
1) Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal
Nafkah yaitu yang diberikan atau yang dikeluarkan oleh seseorang kepada istri, kerabat atau lain-lain untuk memenuhi keperluan pokok. Nafkah merupakan hak istri sebagai akibat telah terjadinya aqad perkawinan, sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah ayat 233,”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. " Dan firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 6, “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa suami berkewajiban memberi nafkah, pakain, dan tempat tinggal yang layak sesuai dengan kesanggupannya,.


2) Memimpin dan mempergauli isrti dengan baik
Setelah aqad berlangsung, maka tugas memimpin seorang perempuan berpindah dari wali keada suami. Sebagaiman Firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat 34, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Dan firman Allah surat an-Nisa' ayat 19,” Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Tugas suami sebagai pemimpin yang dimaksud ayat tersebut adalah suami berkewajiban memelihara, menjaga, dan mengembangkan potensi yang dipimpin menuju kepada tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga.
Dalam hal ini termasuk kewajiban suami yaitu mengajar istri atau memberi kesempatan kepada istri untuk mempelajari hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai tetangga dan sebagainya Di samping itu hendaklah mempergauli istri dengan pergaulan yang baik yang sesuai dengan sifat kewanitaannya.
3) Berlaku adil antara istri-istri
Bagi laki-laki yang berpologami maka wajib berlaku adil terhadap istrinya baik nafkah, giliran bermalam dan pemberian lainnya. Tetapi dalam hal cinta dan kasih sayang tidak wajib berlaku adil karena dalam hal ini manusia tidak akan sanggup.
Bagi laki-laki yang tidak sanggup berlaku adil maka cukuplah satu istri saja sebagaiman firman Allah SWT surat an Nisa’ ayat 3, “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yng kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja.”
Kewajiban Istri menurut Hukum Islam
a. Kewajiban istri menurut hukum Islam
Bila suami mempunyai kewajiban terhadap istrinya sebaliknya istri mempunyai kewajiban terhadap suaminya. Setiap orang mempunyai hak tertentu juga dada kewajibannya. Bila hak telah diterima tentu kewajiban juga harus dibayarkan, maka kewajiban istri kepada suami adalah:
1) Mematuhi suami
Istri wajib patuh selagi kepatuhannya tidak membawa maksiat atau durkaha
kepada Allah dan selama istri tidak mengurangi hak suami terhadapnya tanpa izinnya. Istri tidak boleh mengerjakan puasa sunat kalau tidak diizinkan oleh suaminya. “Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah bersabda: tidak halal bagi perempuan (Istri) berpuasa sedang suaminya hadir di rumah kecuali seizinnya.[13] (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Memelihara diri dan menjaga kehormatannya serta memelihara harta suaminya.
Setiap istri berkewajiban memelihara dirinya dari sikap-sikap yang tidak disenangi oleh suaminya, seperti bermuka masa suka keluar rumah tanpa keperluan atau keluar rumah tanpa izin suami dan menjaga kehormatannya bila datang gangguan dari pihak lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa' ayat 34 yang berbunyi, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
3) Istri bersifat Qana'ah
Artinya istri merasa cukup terhadap apa yang ada tidak berkeluh kesah dan senang hatinya menerima kadar yang diberikan Allah dalam hidupnya. Oleh karena itu seorang istri harus pandai mengatur belanja sesuai dengan pendapatan suami, biar belanja agak kurang asal melebihi dari apa yang diterima
C. Kewajiban Berjihad menurut Hukum Islam
Wajib hukumnya berjihad bagi setiap orang muslim, laki-laki, berakal, telah baligh, tidak cacat fisik, dan memiliki persiapan materi buntuk bekal hidupnya, keluarganya, sehingga ia dapat dengan leluasa melaksanakan tugas jihad. Oleh karena itu jihad tidak diwajibkan bagi non muslim, wanita, anak kecil, orang gila, dan orang sakit. Bagi meraka tidak berdosa jika tidak ikut serta, karena memiliki kelemahan dan tidak berkekuatan di medan perang.[14]
Dalam hal ini Allah berfirman dala surat at-Taubah ayat 91,"Tidak ada dosa (lantaran tidak ikut berjihad) bagi orang-orang yang lemah, orang sakit, dan orang yang tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya Allah juga berfirman dalam surat an-Nisa' ayat 32 ,"Dan janganlah kamu iri hati kepada orang-orang yang diberikan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian. (Karena) bagi orang laki-laki adsa bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan-perempuan (pun) ada bagian dari yang mereka usahakan”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban berjihad hanya bagi kaum laki-laki yang sehat jasmani, baligh dan mempunyai bekal untuk diri dan keluarganya.
[1]H. A. R. Sutan Mansur, Jihad, (Jakarta: Panjimas, 1982), Cet ke I, h. 9
[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), cet ke-2,h. 302
[3]Departemen Agama RI, Ensiklopedi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Utama,1993), jilid ke-2, h. 521
[4]Abdul ziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet ke I, jilid 4, h. 1389
[5]Azyumardi Azra, Pergerakan Poliik Islam, (Jakarta:Paramadina,1996), cet ke I, h. 127
[6] Sayyi Quthub, Petunjuk Jalan, (Jakarta: Gema Insaniu, 2001) Cet. Ke-I, h.85
[7]Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ickhtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid 4,h. 1937
[8]Nazar Nizar, Diktat Fiqh Munakahat I (Padang: t.p, 1989), h. 71
12 Isni Bustani, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, (Padang: IAIN Press Padang, 1999), h. 81

[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: al-Maarif,1987), jilid 6, h. 52
[11] Isni bustami, Op. Cit, h. 81
[12]Soemiyati, Hukum Perkawianan Islam dalam Undang-undang Perkwinan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 87
[13] Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i, (Jakarta: Karya Indah, 1989), h. 84
23Departemen Agama RI, Op. cit, h. 182

Komentar :

ada 0 komentar ke “Jihad : dalam Keluarga Menurut Islam”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra