Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Islam Intelektual-Era kebebasan di negeri ini telah memberikan kesempatan bagi setiap kelompok untuk menampilkan model keagamaannya. Sekilas boleh dikatakan kegairahan untuk mengamalkan nilai-nilai dan ajaran keagamaan makin menguat. Namun, ditilik dari pendekatan sosiologis, ajaran agama yang dipraktikkan dalam keseharian boleh jadi banyak menyembunyikan kepentingan yang tidak muncul di permukaan.
Tidak ada salahnya jika kita berusaha memahami kehidupan keagamaan melalui disiplin bukan ‘agama’ murni, seperti psikologi, sosiologi, dan antropologi. Tentu, kita akan terkejut karena agama disimpulkan sebagai fenomena kemanusiaan biasa dengan segala implikasinya.
Memang ada premis yang menganggap keagamaan adalah bentuk ketidakmatangan manusia, tetapi pandangan ini disangga oleh rasio semata yang mengukur segalanya dari cara berpikir dialektik-materialisme. Pendekatan lain banyak menganggap perspektif ini gagal karena bias dan distortif.
Tulisan Fadwa El-Guindi tentang jilbab dalam Veil: Modesty, Privacy and Resistance (1999) memperlihatkan kelebihan melihat persoalan keagamaan di dalam pelbagai perspektif. Ia tidak hanya melihatnya dari pendekatan normatif, tetapi makna yang terkandung di dalam ajaran agama lebih luas, baik sejarah, linguistik, studi kawasan dan feminisme.
Kekayaan pandangan ini akan membuat kita lebih jernih melihat masalah yang sedang dihadapi umat. Meski demikian, gagasan untuk menilai agama dari ajaran dirinya akan mengantarkan kita pada kekayaan pemikiran yang telah melahirkan semangat untuk membela kemanusiaan. >
Agama telah mampu memayungi kehidupan manusia yang kerap didera kerakusan dan ketamakan penganutnya. Namun, pada saat yang sama dalam sejarah agama juga telah digunakan untuk menjadi pembenar bagi keangkaramurkaan. Untuk itu, kita harus menemukan jalan pulang.
Jalan terjal
Memasuki usia ke-15 abad, Islam telah mengarungi hidup dengan segala pernak-perniknya. Ia telah melahirkan sejarah gemilang dan akhirnya mengacu dalam hukum sejarahnya Ibn Khaldun. Dia juga memasuki masa keredupannnya. Terus terang, inilah yang kita baca dalam buku sejarah, tanpa memperhatikan bahwa keislaman itu juga meminjam peradaban lain. Bahkan, lebih jauh kejayaan Islam dalam pengetahuan juga didukung oleh kepakaran sarjana non-Muslim. Pendek kata, peradaban ini sejatinya adalah milik bersama umat manusia.
Sekarang kita di sini terpecah dalam beberapa kelompok untuk kembali kepada kegemilangan tersebut. Dengan segudang alasan, masing-masing menonjolkan dirinya sebagai pembawa panji yang akan mengembalikan kejayaan masa lalu. Tak terhindarkan, simbol-simbol diusung meskipun sebenarnya ia menyimpan makna ‘tersembunyi’ yang justru menghilang di tengah hiruk-pikuk pekikan.
Bahkan, politik pun turut merayakan keagamaan dengan penuh ingar-bingar. Di sini ada kelompok yang menggunakan legitimasi agama, baik secara terangan-terangan maupun tersembunyi. Demikian pula ditemukan kelompok yang ingin menjaga kesucian tradisi karena dianggap warisan nenek moyang dan perlu dipertahankan berdasarkan kepercayaan pada kearifan lokal. Padahal, di balik itu ada pengekalan kekuasaan dan kekhawatiran tergerus oleh gelombang baru yang akan meminggirkan perannya di tengah masyarakat.
Ya, benar apa kata Jürgen Habermas bahwa ada kaitan erat antara pengetahuan dan kepentingan. Akhirnya, jalan pulang dipenuhi kerikil tajam. Mereka sering berkelahi dengan sesama di tengah jalan dan bahkan menumpahkan darah.
Upaya untuk berdamai memang telah dilakukan. Tidak jarang dengan pernyataan bersama yang disorot wartawan. Lalu, berita menyiarkan bahwa mereka bergandengan tangan untuk menyongsong masa depan. Tapi, sebagian menggumam ragu bahwa mereka adalah pengawal agama yang selalu terjebak pada perebutan kekuasaan.
Islam sederhana
Di sini kesederhanaan tidak hanya dipahami sebagai wujud dari sikap moderat dan tidak ekstrem. Lebih jauh, ia mengandaikan penganutnya mengamalkan kehidupan keseharian yang sederhana.
Tapi, kita tentu heran karena mereka yang menjadi pemimpin menabung begitu banyak uang di tengah kesulitan rakyat yang menganga dan putus asa. Begitu banyak umat dibujuk untuk turun jalan atau memenuhi masjid untuk membikin pernyataan bahwa Islam menginginkan ini dan itu.
Kita pun tahu acara seremonial semacam ini juga memerlukan dana besar. Jelas-jelas ini kesia-siaan. Padahal, di luar sana banyak umat yang memerlukan uang untuk makan, biaya sekolah, dan ongkos kesehatan.
Jumlah 87 persen umat di dalam statistik adalah bukti cukup bahwa kita adalah besar dan tak perlu ditunjukkan dengan teriakan di jalanan. Sekarang kita memerlukan pemimpin yang menguras tabungannya untuk kebajikan. Demikian pula umat tak perlu lagi tergoda untuk sering berkerumun di jalan.
Perayaan keagamaan lebih dari cukup untuk berkumpul menguatkan komitmen bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan yang melilit umat. Malahan, energi yang melimpah itu seharusnya mendorong umat untuk rajin berjamaah agar masjid-masjid tidak menjelma menjadi kuburan, tanpa direcoki propaganda untuk gagah-gagahan.
Oleh karena itu, kewajiban setiap Muslim adalah memakmurkan masjid tempat dia tinggal. Mungkin di sinilah kita akan menemukan ruang di mana satu sama lain berbagi, bagaimana menyoal masalah yang sedang dihadapi di lingkungannya berkaitan dengan ketersediaan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Fungsi masjid tak lagi dibekap sebagai tempat ibadah, tetapi juga kegiatan sosial.
Tambahan lagi, kita memerlukan lebih banyak lagi sekolah model MTs Sururon di Jawa Barat yang menjawab masalah sekitarnya. Sekolah yang membebaskan biaya dan tidak hanya memamah biak kurikulum yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan lokal.
Lalu, bagaimana dengan orang miskin yang ingin berobat? Meskipun kaum duafa diberikan kartu bebas biaya, itu tidak akan membuatnya sembuh dengan mudah. Sakit memerlukan biaya lebih sekadar menebus obat.
Jika ghirah keislaman diarahkan bagaimana membuat umat ini tidak lemah, maka tugas kita sebagai Muslim telah tertunai. Mungkin, kita juga perlu meniru usaha Johor Corporation, Malaysia, di bawah teraju tokoh wiraswasta Ali Hashim, yang mewakafkan sahamnya untuk diberikan kepada masjid agar membangun klinik yang tidak membebani ongkos mahal untuk orang miskin.
Saya tidak menampik ide-ide besar, seperti tegaknya syariah, model kekhalifahan, Islam liberal, atau apa pun namanya. Dengan catatan semua memikirkan kembali akar dari keterpurukan umat, yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Jika kita semua bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh untuk menuntaskan masalah ini, maka diharapkan perbincangan tentang kembali kepada Islam tidak ditelikung oleh para elitenya untuk berdiri di depan panggung dan di belakangnya mereka mendapatkan pamrih.
Celakanya, perbincangan para sarjananya hanya menambah gelap arti menjadi Muslim karena mereka asyik bergelut dengan teori yang rumit dan mengabaikan bagaimana menjelaskan praktik agama yang mudah dan jelas sesuai dengan kebutuhan mendesak pemeluknya. Sudah saatnya kita memetik manfaat dari diskursus keagamaan yang memberikan ruang untuk membebaskan penganut terbesarnya yang bergelut dengan pelbagai kemelaratan hidup. Terus terang, kita susah menemukan teladan karena kesederhanaan telah ditelan zaman.
Ikhtisar
- Perlu memberdayakan peran masjid untuk membuka dan menambah wawasan umat.
- Umat tak mungkin maju tanpa mengangkat mereka dari kemiskinan dan kebodohan
Komentar :
Posting Komentar