Ade Wirman Syafei
Staf Pengajar FE Universitas Negeri Padang
Islam Intelektual-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah meminta fatwa tentang zakat perusahaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam proses penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) zakat perusahaan. Permintaan fatwa itu penting dikarenakan selama ini pemungutan zakat dipahami sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban personal Muslim, sementara PSAK zakat perusahaan tidak ditujukan pada personal Muslim, melainkan bagi badan usaha/perusahaan.
Keinginan IAI untuk menyusun PSAK zakat perusahaan akan menimbulkan perdebatan di dalam masyarakat. Hadirnya fatwa tentang zakat perusahaan akan meredam perdebatan tersebut dan lebih penting lagi akan menjadi pilar penerbitan PSAK zakat perusahaan.
Meski demikian, seperti yang disampaikan oleh Beik (Republika, 14 April 2008), pembahasan tentang zakat perusahaan agak sulit ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Oleh karenanya, rencana penyusunan PSAK zakat perusahaan oleh IAI sangat menarik untuk dicermati.
Dasar filosofis zakat perusahaan
Menurut Syahatah (2001), kewajiban zakat pada dasarnya ditujukan kepada setiap pribadi Muslim. Dalam konteks ini, zakat dikenakan kepada harta yang dimiliki oleh seorang Muslim yang telah melewati nishabnya (batas).
Itulah sebabnya setiap pribadi Muslim yang mampu tanpa membedakan profesinya berkewajiban menunaikan zakat. Persoalan kontemporer zakat muncul terkait dengan hadirnya badan usaha, seperti perseroan terbatas (PT) yang dimiliki oleh kaum Muslimin. Harta yang dimiliki oleh suatu badan usaha seperti PT secara hukum formal terpisah dari harta pribadi pemiliknya. Namun, secara substansial harta yang dimiliki oleh PT merupakan bagian dari harta pemilik.
Jika pengenaan zakat berlandaskan pada kitab fikih klasik, maka harta PT yang dimiliki oleh kaum Muslimin tersebut tidak akan dikenakan zakat. Menurut Monzer Kahf (1987), situasi ini akan menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Hal ini dikarenakan zakat senantiasa dikenakan kepada harta yang dimiliki oleh petani atau peternak yang mewakili profesi masyarakat ekonomi lemah, sementara pada sisi yang lain zakat tidak dikenakan pada harta Muslimin yang ditanamkan dalam PT yang mewakili masyarakat ekonomi atas.
Atas dasar inilah Qaradhawi (1999) berijtihad (berpendapat) untuk mewajibkan zakat atas perusahaan yang dimiliki oleh kaum Muslimin.
Kewajiban zakat perusahaan harus hanya ditujukan kepada perusahaan yang dimiliki (setidaknya secara mayoritas) oleh kaum Muslimin. Hal ini sesuai dengan Qaradhawi (1999) bahwa zakat perusahaan pada hakikatnya adalah pengenaan zakat pada harta perusahaan yang dimiliki oleh setiap pribadi Muslim.
Jadi, zakat perusahaan tidak ditujukan pada harta BUMN/BUMD dan PT yang tidak dimiliki oleh kaum Muslimin. Dengan demikian, rencana IAI untuk menyusun PSAK zakat perusahaan tidak seharusnya membuat resah kalangan pengusaha (dunia bisnis) pada umumnya.
Metode perhitungan
Zakat perusahaan dapat ditentukan setidaknya dengan tiga metode. Pertama, menurut Qaradhawi (1999), kekayaan perusahaan yang dikenakan zakat adalah urud at-tijarah, yaitu kekayaan perusahaan yang digunakan untuk memperoleh laba. Harta kekayaan perusahaan yang dikenakan zakat dapat berupa kas (setara dengan kas), investasi jangka pendek, barang dagang, piutang dagang bersih dikurangi dengan kewajiban lancar. Untuk mudahnya, zakat dikenakan pada harta lancar bersih (Inet current asset) perusahaan.
Kedua, zakat perusahaan juga dapat dihitung berdasarkan kekayaan bersih perusahaan (Lembaga Fatwa Arab Saudi). Hal ini berarti bahwa zakat dikenakan atas semua kekayaan perusahaan, seperti modal disetor, laba ditahan, laba tahun berjalan dikurangi dengan nilai aset tetap bersih (Inet fixed asset), investasi perusahaan pada perusahaan atau entitas lainnya, dan kerugian tahun berjalan (jika ada).
Ketiga, El Badawi dan Sultan (1992) mengusulkan metode perhitungan zakat perusahaan berdasarkan pertumbuhan modal bersih (Inet growing capital). Penggunaan metode ini dilakukan dengan menambahkan harta lancar bersih (Inet current asset) dengan berbagai utang jangka pendek (current liabilities) yang digunakan untuk keperluan jangka panjang dan dikurangi dengan utang jangka panjang yang digunakan untuk pembiayaan harta lancar (current assets).
Apa pun metode yang digunakan, ketentuan umum yang harus dipenuhi dalam semua metode adalah bahwa kekayaan perusahaan yang akan dikenakan zakat tentunya harus produktif dan melampaui nishab sebesar 85 gram emas. Penting juga untuk diingat, pengurangan harta dengan utang dibenarkan dalam rangka memenuhi prinsip keadilan bagi pembayar zakat. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa kewajiban zakat hanya ditujukan pada setiap Muslim yang mampu.
Ketentuan umum lainnya yang perlu dipatuhi adalah zakat diwajibkan atas harta yang sudah dimiliki selama satu tahun (haul). Penentuan haul dalam penggunaan kalender Masehi memiliki perbedaan jumlah hari sebanyak 11 hari lebih banyak dibandingkan dengan kalender Islam, yaitu Hijriah.
Perbedaan ini membawa konsekuensi pada tingkat yang dikenakan pada perusahaan dengan kalender Masehi menjadi lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan kalender Hijriah. Menurut AAOIFI Standards (2006), tingkat rate) zakat perusahaan yang menggunakan kalender Masehi adalah 2,57 persen, sedangkan jika menggunakan kalender Hijriah adalah 2,5 persen.
Dukungan pemerintah dan parlemen
Perolehan zakat perusahaan dapat dimaksimalkan jika upaya IAI tersebut didukung oleh pemerintah dan parlemen, yaitu dengan mengatur ketentuan zakat perusahaan dalam satu undang-undang. UU Zakat No 38/1999 belum lagi memuat ketentuan mengenai zakat perusahaan tersebut.
Berdasarkan argumentasi di atas, pemerintah dan parlemen harus berperan aktif dengan cara mengamandemen UU Zakat yang sudah ada.
Untuk mendorong agar perusahaan-perusahaan tersebut berkenan membayar zakat, pemerintah harus mempertimbangkan adanya insentif, seperti pemenuhan kewajiban zakat perusahaan melalui lembaga pengelola zakat yang diakui pemerintah dapat mengurangi pajak yang seharusnya dibayar perusahaan tersebut.
Argumentasi ini sangat logis karena zakat ditujukan kepada kaum fakir dan miskin. Dengan demikian, pemenuhan kewajiban zakat dengan sendirinya akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Ikhtisar
- Niat IAI menyusun PSAK zakat perusahaan seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan dari semua pihak.
- Pemenuhan kewajiban zakat perusahaan memiliki satu daya dorong yang sangat signifikan dalam peningkatan kesejateraan rakyat Indonesia.
- Kebijakan zakat perusahaan akan membantu pemerintah dalam memerangi dan mengurangi kemiskinan di Indonesia secara konkret.
Komentar :
Posting Komentar