30 April 2008

Strategi Menyelaraskan Hubungan Pengusaha-Pekerja

Yuyun Rahmawati
Kandidat Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI

Islam Intelektual-Masih segar dalam ingatan kita, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi sejumlah menteri membuka dialog dengan komunitas buruh di Istana Negara, Jakarta, Senin (31/3) lalu. Presiden mengharapkan ada pembagian tanggung jawab untuk membangun hubungan industrial antara pengusaha dan buruh yang kondusif untuk investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi bagi semua pihak, harus bersikap netral dan ikut membantu mencarikan cara penyelesaian yang komprehensif. Inilah salah satu aspirasi dari kaum buruh. Tetapi, kita tahu bahwa dalam kenyataannya forum tripartit (perwakilan buruh, pengusaha, dan pemerintah) yang diharapkan bisa meraih kemajuan secara signifikan ternyata baru sebatas mimpi. Pertemuan memang kerap kali dilakukan, tetapi sulit menghasilkan kesepakatan bersama.

Aksi unjuk rasa kaum buruh yang kadang memicu tindakan anarkis ikut menjadi faktor penyebab hengkangnya perusahaan asing di Indonesia. Saat membuka Forum Koordinasi Nasional Mediator Hubungan Industrial di Jakarta, Kamis (10/4), Wapres Jusuf Kalla mengingatkan para mediator perselisihan perburuhan agar selalu bersikap arif, bijaksana, tetap menjadi orang tengah dan bukan menjadi promotor apalagi provokator.

Kita melihat bahwa kondisi ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia memang kurang kondusif untuk berinvestasi. Sementara itu, pemerintah selaku regulator, sekaligus mediator antara pengusaha dan pekerja, juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro melalui masuknya investasi. Kalau perlu dengan menekan upah minimum pekerja.

Kondisi inilah yang selalu membuat para pekerja terperangkap di antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah. Banyak pengusaha yang berkeberatan memberikan hak upah minimum pekerjanya meski pemerintah telah menetapkannya. Alasannya, pengusaha tidak ingin melihat para pekerja itu hanya memikirkan haknya sebab mereka sulit untuk diajak kompromi.

Bagi pengusaha, yang akan diberikan kepada para pekerja harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan prestasi mereka. Di sisi lain, para pekerja umumnya cenderung tidak peduli dengan kesulitan perusahaan dan tidak mau bagiannya dikurangi. Tarik ulur kepentingan dalam berbagai masalah mendasar mengakibatkan ketiga pihak terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.

Optimalkan peran pemerintah
Upaya pemerintah menjembatani kepentingan pekerja dengan pengusaha dapat dilakukan dengan mengajak kedua pihak bermusyawarah guna menciptakan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) serta Persetujuan Bersama (PB) dan selalu menyesuaikan klausulnya dengan perkembangan situasi. KKB ini tidak perlu disahkan, bahkan tidak harus disetujui dan cukup diketahui oleh para pekerja dan pengusaha.

Dasar hukumnya adalah UU No 21 Tahun 1994. Musyawarah untuk mufakat dalam KKB berbentuk adu argumentasi, saling negosiasi kepentingan, serta yakin-meyakinkan dan mengintensifkan perundingan-perundingan untuk mendapatkan solusi yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang berselisih. KKB dan PB pada dasarnya merupakan musyawarah untuk mufakat serta transparansi komunikasi, konflik tenaga kerja, dan perusahaan.

Dengan demikian, pengusaha bisa menyelesaikannya secara internal, tidak perlu sampai mengagendakan sidang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Apalagi, menjadi konsumsi publik sehingga perusahaan tidak akan mengalami kerugian ganda, bisa dari demonstrasi pekerja, kalah dalam sidang P4P karena kurang bahan atau kurang argumentasi, dan mendapat citra buruk di mata pemerintah dan publik atau masyarakat.

Bila KKB kurang manjur atau tidak efektif, pengusaha sebenarnya bisa merujuk pada peraturan perusahaan yang dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No 2 Tahun 1978. PB merupakan bentuk kesepakatan pertama yang disetujui pihak manajemen dan para pekerja yang mengikat kedua belah pihak secara hukum.

Hal lain yang lazimnya dijadikan pegangan dalam menghadapi tuntutan ketidakpuasan pekerja atas kebijakan perusahaan adalah berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No 12 Tahun 1964, UU No 04 Tahun 1986, dan Permen No 03 Tahun 1996. Aturan itu mengatur uang pesangon, uang jasa, imbalan, dan perjanjian-perjanjian, termasuk perjanjian individual. Ini untuk menempatkan masalah pada proporsinya.

Perusahaan memang bisa menyandarkan kebijakannya pada peraturan perundang-undangan dan perjanjian-perjanjian tersebut, sementara para pekerja tidak dapat memaksakan kehendak mereka di luar konteks peraturan itu. Ini karena sudah merupakan ketentuan standar yang diketahui bersama. Pemerintah sudah tentu memfasilitasi peradilan hubungan industrial untuk menyelesaikan sengketa permasalahan antara pekerja dan pengusaha jika salah satunya melanggar kesepakatan bersama atau tidak mencapai kesepakatan.

Harmonisasi hubungan
Data survei angkatan kerja nasional 2004-2006 mengungkapkan rendahnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan dan keselamatan pekerja. Selain itu, 70,2 persen pekerja Indonesia menganggap fasilitas tempat bekerja serta fasilitas keselamatan kerja mereka masih buruk.

Lalu, 61,4 persen pekerja menganggap ketersediaan fasilitas kerja mereka pun masih buruk. Kondisi yang sama dialami 59,0 persen pekerja dalam hal jaminan kesehatan. Menurut mereka, jaminan kesehatan di tempat kerjanya tidak memadai bagi perbaikan kesehatan pekerja.

Padahal, perusahaan perlu menata kembali sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber daya saing agar selalu mampu mewujudkan keberadaan perusahaan yang berkelanjutan. Paradigma baru terhadap manajemen SDM juga harus diterapkan, yakni dengan memandang pekerja sebagai manusia yang harus dihormati agar konflik antara pekerja dan pengusaha tidak menjadi rumit.

Kita melihat perlunya memperbarui sistem komunikasi untuk membuka hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pengusaha terhadap apa yang masing-masing keluhkan. Pengusaha dengan permasalahan manajemennya dan para pekerja pun bisa menyampaikan tuntutan kenaikan upahnya. Kedua pihak dapat duduk bersama guna menentukan solusi yang terbaik. Syaratnya, kedua pihak harus bersikap jujur, berprasangka baik, objektif, dan mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka buat bersama.

Meskipun sulit bagi kedua pihak, tetapi tentu ada solusinya jika mereka dapat menjalin komunikasi yang baik, seperti layaknya keluarga yang harmonis. Ini merupakan win-win solution dalam bidang manajemen. Pengusaha akan tetap meraih profit secara berkelanjutan. Pekerja pun bisa menikmati kehidupan yang layak sebagai hasil dari hubungan yang harmonis di antara kedua pihak.

ikhtisar

- Pemerintah harus bersikap netral dalam menjadi penengah masalah.
- Harmonisasi kerja menjadi kunci agar pengusaha dan pekerja bisa saling menghargai.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Strategi Menyelaraskan Hubungan Pengusaha-Pekerja”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra