Y a n s e n
Dosen Universitas Bengkulu, Sedang Studi Doktor di Australia
Islam Intelektual-Indonesia adalah bangsa feodal dan patron. Selain memiliki legitimasi yang sangat kuat, pemimpin mendapatkan kedudukan yang mulia. Konsekuensinya, para pemimpin mempunyai pengaruh kuat dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.
Sejarah menunjukkan pemimpin formal seperti Indonesia sering kali menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas bahkan tak terkendali. Tapi, secara jujur harus diakui, sedikit banyak feodalisme merupakan bagian kebudayaan timur.
Oleh pendukung teori-teori sosial Barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hierarki kepemimpinan masyarakat. Walhasil, demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan ke semua bangsa. Indonesia modern pun menerima demokrasi. Soekarno dan Soeharto menerapkan demokrasi semu. Demokrasi dimanipulasi dan dijadikan senjata memperkuat patronisme.
Demokrasi kemudian semakin mendapat tempat di negara ini. Kita bahkan kembali kepada demokrasi dalam bentuk aslinya. Semua dipilih secara langsung. Sesuatu yang tidak terjadi di negara kampiun demokrasi sekalipun.
Tapi, apakah setelah itu secara mental pemimpin-pemimpin yang terpilih terbebas dari feodalisme? Apakah mereka terbebas dari pikiran bahwa mereka mempunyai kekuasaan sepenuhnya pada masyarakat sehingga bisa memanipulasi keinginan-keinginan grass root?
Ternyata tidak. Inilah anomali pertama demokrasi di dunia ketiga: demokrasi dan feodalisme bisa hidup di bawah satu atap. Anomali kedua, demokrasi tidak berbanding linier dengan kesejahteraan. Dengan amanat langsung dari rakyat, pemimpin mempunyai legitimasi sangat besar untuk dapat membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Kegagalan akan berakibat pada dicabutnya mandat dari rakyat. Tapi, apa yang terjadi? Demokrasi bahkan berbanding terbalik dengan kesejahteraan.
Laba yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya besar yang dikeluarkan. Demokrasi kita pun menjadi demokrasi biaya tinggi. Akhirnya kita pun lelah dengan demokrasi. Demokrasi hanyalah alat, demikian gugat Jusuf Kalla, kesejahteraanlah tujuannya. Tapi, adakah jalan pintas menuju ke sana?
Lalu, mengapa anomali ini terjadi? Apakah demokrasi memang tidak inheren dengan sistem kebudayaan kita? Atau kita yang tidak mampu beradaptasi dengannya? Beberapa faktor mungkin menjadi penyebabnya. Salah satunya adalah permasalahan fundamental budaya.
Dalam khazanah sosiologis kita, setelah bangsa Indonesia berkembang pesat, struktur pemikiran feodal tidaklah hilang dari logika budaya bangsa. Feodalisme telah menjadi archetypes, dalam istilah Carl Gustaf Jung, alam bawah sadar kita. Ia pun tak jadi mudah dihilangkan hanya dengan mencoba menerapkan sistem kebudayaan baru. Jadi, tanpa mengubah fundamental budaya yang feodalistis dan patronis, demokrasi tidak akan memberikan hasil positif bagi bangsa ini.
Dalam iklim demokrasi dengan anomali seperti ini, feodalisme bahkan menemukan bentuknya yang paling berbahaya. Ia berbahaya ketika pemimpin yang memiliki jiwa otoriter dan manipulatif terpilih secara demokratis. Ujungnya, mereka merasa mempunyai legitimasi yang sangat kuat. Dengan legitimasi itu, para pemimpin tersebut sering kali melabrak etika dan fatsun politik, melanggar aturan, bahkan melakukan tindakan koruptif dan manipulatif.
Di tangan para pemimpin seperti ini, demokrasi yang sehat mendekati ajalnya. Politik uang menjadi senjata ampuh untuk membunuh demokrasi. Ditambah lagi, primordialisme menjadi jualan utama dalam pesta demokrasi. Maka, wajar jika program merupakan hal yang ke sekian untuk dipikirkan. Kalaupun disusun secara baik, program-program yang ditawarkan tidak lebih dari sekadar pemanis kampanye.
Hasilnya, semakin lama bangsa ini semakin seperti bus yang kehilangan arah. Padahal, di dalamnya ada ratusan penumpang yang berharap pada kemampuan, kelihaian, dan kearifan sopir dalam melajukan kendaraan. Jika tidak, bus ini akan menjadi juggernaut, istilah Anthony Giddens, tokoh sosial demokrasi. Sebuah kendaraan tak terkendali yang menuju jurang kehancuran.
Akhirnya, menggema ketidakpercayaan pada pemimpin-pemimpin tua. Mereka dianggap gagal mengawal reformasi dan tidak memberikan arah jelas perkembangan bangsa. Walaupun dipilih secara demokratis, mereka dianggap tidak memiliki spirit progresif. Bahkan, mereka ditengarai membawa penyakit feodal yang akut. Mereka dipercayai hanya mampu mengumbar retorika-retorika politik. Tapi, permasalahan-permasalahan tak kunjung tuntas.
Penanganan bencana, lumpur lapindo dan banyak masalah lainnya tidak juga terselesaikan. Masalah yang satu hilang hanya karena tertutupi oleh masalah baru yang muncul. Ujungnya, terjadi kebosanan masyarakat pada para elite pemimpin. Tetapi, apakah dengan regenerasi semua masalah akan selesai dan demokrasi Indonesia dijalankan secara benar? Semuanya masih menjadi tanda tanya.
Demokrasi adalah barang baru bagi bangsa ini. Menerima mentah-mentah demokrasi tanpa proses pembelajaran dan pengenalan lebih baik adalah menggali kubur sendiri. Karena itu, pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
Pemahaman yang utuh dan disertai perubahan sikap pandang merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk mendapat manfaat dari demokrasi. Partai politik dan para pemimpin politik harus menjadi inisiator pembelajaran politik masyarakat. Jika praktik-praktik menyimpang masih diterapkan di alam demokrasi kita, jangan harap bangsa ini bisa maju dengan menerapkannya. Yang ada bahkan kita semakin mudah diperalat kepentingan bangsa lain.
Komentar :
Posting Komentar