21 Januari 2008

ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI (2)

oleh Nurcholish Madjid

(Islam Intelektual)Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna
"al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan
bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah
sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan
dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti
difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan
seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki)
(QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik,
dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:

Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali
orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami
telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
"Berserah dirilah engkau!', lalu ia menjawab, "Aku berserah
diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub. "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah
memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai
kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah
-muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).

Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi
petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama
yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia
termasuk orang-orang musyrik." Katakan juga (hai Muhammad),
"Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku
adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari
kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).

Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah
dirilah kamu semua (aslimu) kepada-Nya sebelum tiba kepada
kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. al-Zumar
39:54).

Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn
Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr
bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab
al-Jadid, 1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian
itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa semua
agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah
diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrat dan
iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as.
ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal
seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang
tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah
kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67). Demikian agama
seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub
atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab
Suci, demikian:

Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan
ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu
sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua
pasrah (muslim) (QS al-Baqarah 2:133).

Kemudian tentang Nabi Musa as. digambarkan melalui ucapan
pertobatan Fir'aun bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar
manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu, agamanya
pun sebuah agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat
setelah melihat kebenaran, "Aku percaya bahwa tiada Tuhan
kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepadaNya)" (QS. Yunus
90:10). Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan
para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya
pun adalah sebuah agama Islam, dalam arti agama yang
mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:

Maka ketika 'Isa merasakan adanya sikap ingkar dari mereka
(kaumnya), ia berkata, "Siapa yang akan menjadi pendukungku
kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata,
"Kamilah para pendukung (menuju) Allah, kami beriman kepada
Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang
pasrah -muslimun- (kepada-Nya). (QS. 'Ali 'Imran 3:52).

Karena semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan
sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak ada agama atau sikap
keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada
Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya bukanlah
suatu proper name untuk sebuah agama tertentu (para Nabi,
Rasul dan umat terdahulu yang digambarkan dalam Kitab Suci
sebagai orang-orang yang pasrah kepada Tuhan itu pun tidak
menggunakan lafal harfiah "Islam" atau pun "muslim") maka
orang pemeluk Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih
tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan
kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan terserah diri
kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan itu agama
dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal
termasuk mereka yang merugi. Inilah yang sebenarnya dimaksud
oleh firman Allah, "Sesungguhnya agama bagi Allah ialah
al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS. 'Ali
'Imran 3:19), serta firman Allah: "Dan barangsiapa menganut
selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka
ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka
yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran 3:85). Sudah terang bahwa
Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman, karena ia
dapat tumbuh hanya kalau seseorang memiliki rasa percaya
kepada Allah yang tulus dan penuh.

PENGERTIAN DASAR IMAN

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap
percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing
rukun iman yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.

Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup
hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau
eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih
dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan
bahaya di jalanan:

[Tulisan Arab]

Juga dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "Demi
Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu
orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan
buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

[Tulisan Arab]

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri
petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"

[Tulisan Arab]

Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga
dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang
berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan
orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

[Tulisan Arab]

Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu
ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan
baik atau budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).

Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti
sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi
tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam
kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa." (QS. 2:177).

Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan
perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada Tuhan (al-din) (Lihat Ibn Taimiyah, al-Iman, hal.
162-153).

PENGERTIAN DASAR IHSAN

Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan
ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihat engkau." Maka ihsan adalah ajaran
tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam arti sesungguhnya. Karena
itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia tegaskan bahwa makna
ihsan lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman
lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih
khusus daripada pelaku Islam. Sebab dalam Ihsan sudah
terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).

Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara harfiah berarti
"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang yang ber-iman disebut mu'min dan yang ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling
baik ahlaqnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
[tulisan Arab]. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Allah
atau Islam, orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:

Komentar :

ada 0 komentar ke “ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI (2)”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra