Dadi Darmadi
Beragamnya corak pemikiran keagamaan yang berkembang dalam sejarah Islam di Indonesia—dari Islam yang bercorak sufistik, tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neo-modernis—dengan jelas memperteguh kekayaan khazanah keislaman negeri ini. Fenomena ini juga membuktikan beragamnya pengaruh yang masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara ini. Dalam perspektif sejarah perkembangan intelektual, hal itu, tak pelak lagi, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran visi dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan Muslim Indonesia.
Pola pergeseran tersebut, bisa dimulai dari penjelasan Martin van Bruinessen, seorang sarjana Belanda yang ahli dalam kajian Islam di Indonesia, bahwa pada masa-masa awal berkembangnya Islam di Nusantara sejak abad ke-13 M corak Islam yang berkembang adalah Islam yang bernuansa sufistik. Bentuk Islam yang seperti itu juga mempengaruhi para pemikir-pemikir Islam pada masa tersebut hingga setidaknya empat abad kemudian. Lebih tepatnya, ia memberikan penilaian seperti berikut ini:
“Wajah Islam di Indonesia beraneka ragam, dan cara kaum Muslim di negeri ini menghayati agama mereka bermacam-macam. Tetapi, ada satu segi yang sangat mencolok sepanjang sejarah kepulauan ini: untaian kalung mistik yang begitu kuat mengebat Islamnya! Tulisan-tulisan paling awal karya Muslim Indonesia bernapaskan semangat tasawuf…”
Pada saat ditengarai munculnya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam, sebagai akibat dari hubungan kalangan terpelajar Nusantara dan Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18 M, pengaruh pemikiran sufistik pada berbagai kalangan Muslim masih cukup kuat. Hal ini ditandai dengan masih berkembangnya berbagai ajaran kelompok tarekat dan sufi di Nusantara. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa, untuk tujuan penelitian ini, pada masa-masa ini Islam cenderung masih lebih bermakna sebagai sesuatu yang dipeluk, diyakini, dan dijalankan meskipun jumlah orang yang mendalami Islam cukup banyak, sebagian di antaranya bahkan di Timur Tengah. Maksudnya, pun jika Islam dipelajari, hal itu lebih sebagai sebuah upaya untuk “mempertebal” iman, dan “meningkatkan” kesalehan seseorang yang mempelajarinya, dengan ruang lingkup studi yang terkadang lebih spesifik dan pendekatan yang normatif sifatnya.
Sementara itu, menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—ketika bangsa Indonesia, termasuk kalangan Muslim terpelajarnya berkenalan dengan ide-ide Barat secara lebih intensif—telah secara signifikan mempengaruhi cara pandang masyarakat Islam, terutama para cendekiawannya, untuk lebih memahami dan mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam realitas sosial mereka. Dalam konteks ini, muncul sejumlah pemikir Muslim Indonesia seperti Moh. Natsir dan Agus Salim, dan beberapa dekade sebelumnya telah muncul berbagai gerakan pembaharuan Islam seperti Muhammadiyah dan Persis yang sudah mulai melibatkan pemikiran keislaman mereka dengan berbagai tantangan sosial dan budaya bahkan kebangsaan yang mereka hadapi saat itu. Namun demikian, karena pada saat yang hampir bersamaan juga muncul pengaruh pemikiran Islam dari luar, khususnya negeri-negeri Arab, corak pemikiran Islam ini lebih cenderung puritan, sehingga terkadang juga disebut ortodoks. Tidaklah mengherankan, meskipun sudah berkenalan dengan gagasan-gagasan modernisme yang sekuler, masih ditemukan ide-ide puritan mengenai wawasan keagamaan dan kebangsaan yang secara ideologis mencita-citakan negara "Islam". Kecenderungan seperti ini cukup dominan mewarnai corak pemikiran keagamaan kalangan yang kemudian sering disebut sebagai Muslim modernis awal tersebut.
Hingga paruh pertama abad ke-20, pusat-pusat studi Islam tertinggi bagi kalangan masyarakat Muslim Nusantara masih berada di wilayah Timur Tengah, khususnya Mekah, Saudi Arabia, sebelum akhirnya bergeser ke Kairo, Mesir. Meskipun demikian, patut dicatat adanya beberapa upaya yang dilakukan oleh kalangan terpelajar Muslim pada tahun 1930-an untuk mendirikan berbagai lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan setingkat dengan lembaga akademis.
Pada tahun 1960, pemerintah secara resmi mendirikan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di Jakarta dan Yogyakarta, yang merupakan perpanjangan dari lembaga pendidikan tinggi agama yang telah dikembangkan jauh sebelumnya pada tahun 1940-an. Sampai pada dekade 1960-an, IAIN hanya memiliki ratusan mahasiswa dan umumnya masih mengandalkan dosen-dosen dari kalangan pesantren, sarjana Indonesia lulusan Timur Tengah dan lulusan IAIN sendiri.
Pada era 1970-an, wacana pembaharuan pemikiran keislaman semakin marak. Generasi muda dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini sudah lebih menunjukkan kecenderungan pemikiran yang tidak lagi normatif memandang agama. Mereka—tidak seperti pada masa Islam yang bercorak mistis dan sufistik—kemudian lebih tertarik dengan pemahaman keislaman yang berdasarkan kepada pendekatan-pendekatan empiris dan historis di dalam pembentukan visi keagamaannya. Hal itu, misalnya, dengan tepat digambarkan oleh Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja yang mengatakan bahwa:
“Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches they employ in formulating a vision of an Islamic society.”
Tidak dapat disangkal bahwa perubahan visi dan orientasi itu sejalan dengan masuknya pengaruh pembaharuan Islam, yang utamanya, dibawa oleh kelompok Muslim modernis "generasi kedua" ini. Namun demikian, jelas sekali bahwa perkembangan wacana intelektual Islam seperti yang dimaksud oleh Martin, Woodward dan Atmaja di atas sudah memasuki babak baru, karena sudah menyangkut metodogi yang lebih empirik dan historis yang dipergunakan di dalam memformulasikan masalah keislaman dan masalah kemasyarakatan. Dalam sebuah penelitiannya, Karel Steenbrink, sarjana Belanda yang pernah menjadi dosen tamu di IAIN Yogyakarta, mengatakan bahwa khususnya sejak dibukanya program pascasarjana di lingkungan IAIN pada tahun 1982, pengaruh pendekatan historis dan empiris seperti ini sudah sedemikian nyata. Dalam konteks seperti ini, IAIN dapat dilihat sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi Islam yang memberikan "wadah" dan kesempatan bagi kalangan Muslim terpelajar untuk mengembangkan tradisi studi Islam yang empiris dan tidak lagi normatif.
Dengan demikian, kita bisa melihat adanya pergeseran orientasi dan visi yang signifikan di dalam mendekati, memahami dan mengkaji Islam di kalangan terpelajar Muslim Indonesia ini. Perkembangan ini menunjukkan semakin menguatnya kecenderungan untuk melihat Islam dan masayarakat Muslim sebagai sebuah obyek studi, penelitian dan pengkajian--tidak melulu sebagai sesuatu yang harus “dipeluk” dan “diimani” saja--sehingga hasil-hasil studi yang dilakukan bukan saja tidak melulu diharapkan bersifat apologetik dan merupakan “pembenaran” terhadap agama yang dianutnya, melainkan juga bersikap kritis. Sikap ini penting untuk dilihat secara lebih seksama, mengingat aspek-aspek seperti inilah yang bisa mendorong tumbuhnya tradisi ilmiah di kalangan terpelajar Muslim, khususnya seperti mereka yang menyerap dan mewarisi tradisi seperti itu di lembaga pendidikan Islam seperti IAIN. Seperti yang akan kita bahas lebih lanjut, inilah aspek-aspek terpenting dari awal mula peranan IAIN di dalam wacana intelektual berupa perluasan horison pemikiran Islam di Indonesia.
Pergeseran Visi dan Orientasi
Selama hampir lebih dari tiga puluh tahun, IAIN telah memainkan peranan yang signifikan di dalam pengembangan dan pembaharuan sistem pendidikan Islam di Indonesia, khususnya pada pendidikan madrasah dan pesantren. Peranan penting ini dapat dilihat bukan hanya terbatas dalam konteks menyediakan guru-guru bagi kalangan pelajar Muslim tetapi--dan ini yang lebih penting--IAIN telah mempengaruhi cara pandang, pemahaman dan penafsiran Islam yang lebih luas dan terbuka.Sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi di Indonesia, IAIN telah menjadi salah satu harapan terbaik bagi komunitas Muslim yang ingin mengkaji Islam setelah mereka menamatkan bangku Madrasah Aliyah atau pesantren. Bahkan, menurut Ihsan Ali-Fauzi, seorang intelektual muda dan aktifis Muslim, bagi banyak kalangan Muslim, utamanya orang Islam desa, lembaga seperti IAIN adalah sebuah lembaga pendidikan yang merupakan satu-satunya pilihan, atau—meminjam ungakapannya sendiri—“the best offer you can get”. Lewat IAIN-lah, banyak kalangan muda Muslim terpelajar yang potensial menaruh harapan untuk bisa melakukan "mobilitas vertikal" sehingga bisa mensejajarkan diri dengan kalangan terpelajar Indonesia lainnya.
Tentu saja, sejak kelahirannya IAIN tidak langsung menjadi sebuah lembaga pendidikan yang berciri akademis, dengan wawasan sosial politik yang luas. Sebelumnya, ruang gerak dan partisipasi intelektual IAIN masih terbatas dan bahkan cenderung terpinggirkan, apalagi jika dibandingkan dengan peranan dan pengaruh kalangan terpelajar dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Seperti yang diakui oleh Nurcholish Madjid,
“Ketika saya masih kuliah di Ciputat (Syarif Hidayatullah, Jakarta—pen), IAIN tampak sebagai pihak yang memelas, terpinggirkan dan marginal sekali, jika dilihat dari segi wacana partisipasi intelektual. Umurnya kan masih baru sekali. Jika dibandingkan dengan berbagai Perguruan Tinggi Negeri lainnya—yang biasanya merupakan perpanjangan dari sekolah-sekolah tinggi sejak zaman Belanda—mereka sudah memiliki tradisi intelektual. Bahkan, mereka sudah berkenalan dengan berbagai gerakan kebangsaan, seperti Budi Utomo itu.”
Meskipun banyak dari orang-orang Islam dari pedesaan itu tidak membawa bekal dan tradisi intelektual yang memadai, namun sebagian di antara mereka memiliki potensi-potensi tertentu untuk berkembang. Hal ini umumnya benar, khususnya pada sebagian mahasiswa IAIN yang sebelumnya telah mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren. Dari sini, seperti yang kemudian dijelaskan Ihsan Ali-Fauzi, perjumpaan mereka dengan kolega-kolega lainnya di IAIN telah menumbuhkan kesadaran baru: menjadi creative minority, sebuah kelompok minoritas yang kreatif. Penjelasan Ihsan Ali-Fauzi tersebut sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai sebuah perspektif umum untuk melakukan generalisasi terhadap perkembangan yang ada di semua kalangan IAIN. Oleh karenanya, perspektif seperti ini lebih tepat untuk diterapkan dalam melihat perkembangan intelektual sebagian, bahkan mungkin sebagian kecil, dari komunitas IAIN yang mengalami perkembangan intelektual sedemikian rupa, sehingga akhirnya menjadi creative minority tersebut. Tentu saja, termasuk dalam kategori ini adalah mereka-mereka yang di kemudian hari bisa melakukan “mobilitas vertikal” seperti yang dijelaskan di muka. Salah satu bentuk dari kesadaran seperti itu, misalnya, terwujud dalam sikap yang tidak lagi melulu menonjolkan aspek dakwah dari IAIN, melainkan aspek akademis dan tradisi intelektualnya. Munculnya IAIN sebagai tempat penyemaian ide-ide keislaman di Indonesia pada akhirnya telah mempengaruhi wacana intelektual, paling tidak dalam konteks wacana pemikiran keagamaan di Tanah Air.
Bagi kalangan IAIN sendiri, fenomena ini diharapkan bisa terus dikembangkan. Dengan pendekatan seperti ini, maka akan muncul dampak yang besar bukan hanya bagi kehidupan akademis semata, melainkan juga bagi agama dan negara: corak dan wajah Islam yang lebih intelektual dan tidak lagi ideologis. Namun demikian, harus diakui juga bahwa visi Islam seperti ini belum lagi menjadi sebuah kecenderungan umum di kalangan Muslim Indonesia. Beberapa gejala perkembangan masalah keagamaan dan politik belakangan ini di Indonesia masih mengindikasikan cukup kuatnya kelompok-kelompok Islam yang “ideologis” tersebut. Dengan lebih mengedepankan aspek intelektual dalam Islam, sebagian besar kalangan IAIN dapat dicatat sebagai sebuah komunitas Muslim terpelajar, yang mungkin merupakan sebagian kecil dari umat Islam Indonesia, yang terus memperjuangkan peningkatan mutu pendidikan tinggi Islam dengan visi Islam intelektual seperti itu. Pandangan berikut ini barangkali bisa disebut sebagai pandangan yang khas IAIN tentang Islam. Sebagai fenomena intelektual, seperti yang dijelaskan oleh Abd A’la, seorang dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya,
“Islam tidak lagi dijadikan sebagai pemersatu emosional atau alat pengerah massa sebagaimana ketika ia menjadi sebuah ideologi, namun lebih diarahkan kepada pengembangan wacana dan dialog untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya dalam rangka menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.”
IAIN dipandang berperan dalam dinamika perkembangan wacana intelektual Islam di Indonesia karena pendekatannya terhadap Islam yang khas seperti ini. IAIN selama ini lebih menekankan pemaknaan dan pemahaman yang luas terhadap Islam (broad definition and understanding of Islam). Corak pemikiran yang seperti ini sangat jelas dirasakan pada, misalnya, IAIN Jakarta (Ciputat). Lembaga pendidikan ini sering disebut sebagai “kampus pembaharu”, yang berbasiskan kepada upaya “pembaharuan pemikiran Islam”. Watak liberal komunitas intelektual Ciputat ini sudah sedemikian mengakar, sehingga tidaklah mengherankan jika hal ini memunculkan pemahaman keagamaan dan sosial yang disebut orang dengan istilah “mazhab Ciputat”.
Akar-akar Tradisi Intelektual IAIN
Dalam waktu kira-kira satu dasawarsa sejak kelahiran IAIN di dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, masyarakat luas mulai mengenal berbagai ide dan gagasan keislaman dan keagamaan yang “segar” dari kalangan terpelajar (dosen, alumni dan mahasiswa) IAIN. Salah satu pelopornya adalah Nurcholish Madjid, yang sejak masih mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah menjadi tokoh dan aktivis. Ia adalah satu-satunya orang yang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—salah satu organisasi ekstra mahasiswa yang paling besar dan berpengaruh di Indonesia—selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Sejak 1970-an, berbagai gagasan dan pemikiran kritisnya dikemukakan dalam artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai harian ibukota kala itu seperti Tribun, Pos Bangsa dan Mimbar. Nurcholish dikenal sebagai seorang cendekiawan yang kritis dan telah mensosialisasikan ide-ide pembaharuannya sejak menjadi tokoh mahasiswa dan aktivis HMI. Tulisan-tulisannya pada awal 1970-an sudah menyulut kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia—sering disebut “heboh intelektual”—dan dikenal sangat kritis terhadap berbagai permasalahan sosial keagamaan bangsa Indonesia. Setelah menyelesaikan program doktor di University of Chicago pada tahun 1984, otoritas Nurcholish sebagai salah seorang intelektual Islam Indonesia paling terkemuka semakin tidak diragukan lagi.
Sebelumnya, masyarakat Islam, khususnya kalangan terpelajarnya, sudah banyak berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan dari Harun Nasution, mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Mukti Ali, seorang guru besar IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang kemudian menjadi Menteri Agama. Harun Nasution adalah salah seorang tokoh pembaharuan Islam yang paling berpengaruh di lingkungan Islam terpelajar Indonesia. Ia pernah belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, dan American University, Kairo, dimana ia menamatkan program BA-nya di jurusan ilmu-ilmu sosial. Ia meneruskan studinya di Dirasat al-Islamiyah, sebuah lembaga pendidikan swasta di bawah pimpinan Prof. Abu Zahrah, salah satu ahli Islam terkemuka saat itu, di Mesir. Selanjutnya, ia mengembara ke Barat, dan memperoleh gelar MA dan Doktor di bidang studi-studi keislaman di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada pada 1968. Semasa hidupnya ia pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (1973-1983), dan, setelah itu, ia menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga wafatnya pada 18 September 1998.
Oleh banyak kalangan Muslim terdidik, sosok Harun Nasution lebih dikenal sebagai seorang intelektual Muslim yang liberal. Ia banyak menawarkan cara pandang yang rasional, terbuka dan ilmiah terhadap kajian-kajian keislaman, seperti yang ia tuangkan dalam beberapa karyanya yang banyak dikonsumsi kalangan IAIN. Dalam kerangka liberal seperti itulah, Harun Nasution mengembangkan tradisi studi-studi Islam, khususnya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang lebih menekankan nilai-nilai akademis dan pendekatan rasional.
Sementara itu, Mukti Ali sudah dikenal sebagai seorang intelektual Muslim yang kritis dan berpengaruh di kalangan Muslim terpelajar Yogyakarta, jauh sebelum ia menjabat sebagai Menteri Agama. Mukti Ali dikenal sebagai sedikit di antara intelektual Muslim yang mengembangkan studi agama-agama, dan dikenal sebagai ahli perbandingan agama yang paling awal. Ia mendapatkan pendidikan keislaman awal di pesantren, kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Karachi, Pakistan hingga meraih gelar doktor di bidang Sejarah Islam pada 1955. Setelah itu, ia juga belajar kajian keislaman dan perbandingan agama di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada dan meraih gelar MA pada tahun 1957. Sepulangnya ke Indonesia, ia mengabdikan diri dengan mengajar pada Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sebelum akhirnya ia ditunjuk sebagai Menteri Agama pada 1971.
Mukti Ali, sejak kedatangannya di Yogyakarta pada 1963 sepulang dari studi di luar negeri, banyak berkenalan dengan para aktivis mahasiswa, khususnya mereka yang terlibat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan mendirikan kelompok diskusi yang diberi nama limited group. Nurcholish Madjid menilai Mukti Ali sebagai seorang representasi terbaik dari kalangan Muslim terpelajar Indonesia yang belajar di Barat. Kelak di kemudian hari, beberapa aktivis kelompok diskusi ini, seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan M. Dawam Rahardjo, tampil menjadi cendekiawan-cendekiawan Muslim yang berpengaruh dalam mengembangkan tradisi gerakan Islam modernis di Indonesia.
Booming Sarjana Muslim
Meskipun pengaruh Harun Nasution, Mukti Ali dan Nurcholish Madjid tidak dapat diragukan lagi, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menjelaskan akar-akar tradisi intelektual di kalangan Muslim terpelajar, khususnya IAIN. Ihsan Ali Fauzi menyebutnya sebagai sebuah unintended consequences—sebuah istilah yang juga sering dikemukakan oleh Nurcholish Madjid—guna menjelaskan sebuah proses yang panjang dari pergulatan identitas dan intelektual kalangan Muslim terpelajar. Dan, hal ini, menurut Nurcholish, sangat erat kaitannya dengan konsep pendidikan yang dipahami dan dikembangkan di IAIN:
“Pendidikan itu kan yang penting dilihat bukan intended consequences-nya—seperti orang belajar ke ITB menjadi insinyur—melainkan, yang lebih penting adalah unintended consequences-nya: menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena orang-orang IPB (Institut Pertanian Bogor—pen) yang banyak menjadi bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi semakin besar, bila aspek tradisi intelektualnya tersentuh. Pada mula-mulanya kan orang-orang pergi ke IAIN ingin menjadi modin. Tapi, lama-kelamaan, karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya menjadi terpelajar”.
Pernyataan Nurcholish Madjid mengenai unintended consequences tersebut di atas harus dicermati dan dilihat dalam konteks tertentu. Perspektif seperti ini hanya dapat diterima jika, misalnya, dipergunakan untuk melihat munculnya kecenderungan yang “melebar” pada sebagian lulusan IAIN. Maksudnya, dari ruang lingkup IAIN yang terbatas hanya mendalami agama Islam, seringkali muncul “beraneka-ragam” para sarjana dan alumni IAIN yang berkiprah di berbagai tempat, misalnya dunia pers, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan kegiatan-kegiatan lainnya, yang jika dilihat sepintas nampaknya cukup kontras dengan peranan dan harapan sosial masyarakat tentang IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi agama. Walau bagaimanapun, sistem pendidikan IAIN telah dibangun dan didesain sedemikian rupa dan tentu saja dengan berbagai pertimbangan dan konsekuensinya.
Khususnya bagi kalangan IAIN, pengaruh pemikiran Nurcholish begitu besar. Hal itu, tidak semata-mata dirasakan oleh mahasiswa dan komunitas terpelajar di IAIN Jakarta atau Yogyakarta, namun sudah menjalar lebih jauh hingga ke IAIN-IAIN daerah lainnya, sebagaimana dinyatakan Abdul Halim, seorang mahasiswa dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan:
“…tulisan-tulisan Cak Nur (Nurcholish Madjid—pen) itu bisa mengimplementasikan nilai-nilai Islam dan tulisannya itu kepada hal-hal yang universal kemasyarakatan. Artinya, dia telah mengedepankan konsep Islam yang universal. Islam itu bisa diterima oleh segala golongan dalam kehidupan apapun, karena memang ajaran Islam itu universal.”
Yang menarik, paling tidak dua dari ketiga orang tersebut (Harun Nasution dan Mukti Ali)—yang dianggap merintis dan menjadi akar-akar tradisi intelektual di kalangan IAIN—pernah bersentuhan dengan tradisi ilmiah dan akademis Institute of Islamic Studies (IIS), McGill University, Montreal, Kanada. Harun Nasution dan Mukti Ali mendapatkan pengalaman akademis sebagai mahasiswa dan meraih gelar akademis dari lembaga ini. Sementara itu, Nurcholish Madjid, yang memang sudah terkenal dan dikenal sebagai salah seorang intelektual Muslim Indonesia paling berpengaruh, pernah mendapatkan pengalaman mengajar dan melakukan riset di McGill University sebagai Guru Besar Tamu pada tahun 1991-1992. Hal ini tentu saja bukan merupakan peristiwa kebetulan belaka, melainkan sebagai sebuah indikasi kuat betapa sistem pendidikan dan metodologi dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman yang umumnya terdapat pada berbabagi universitas di Barat, seperti di Institute of Islamic Studies, McGill University secara signifikan telah, baik secara langsung maupun tidak, berpengaruh di dalam penyemaian benih-benih tradisi intelektual dan akademis di kalangan Muslim terpelajar di Indonesia. Setidaknya dalam kasus Harun Nasution, yang disebut Karel Steenbrink, "meniru program McGill tahun 1970-an" dan diterapkannya pada fakultas pascasarjana IAIN Jakarta, pengaruh seperti itu memang cukup signifikan. Bahkan, jika dirunut-runut, warisan intelektual yang kemudian tumbuh dan berkembang di IAIN tersebut harus mengakui berhutang budi bukan hanya pada institusi yang kemudian ditiru sistem dan metode pengajarannya, tapi juga pada beberapa orang guru besar ahli studi-studi Islam, seperti almarhum Profesor Fazlur Rahman dari University of Chicago, yang telah begitu besar pengaruhnya secara akademis bagi kalangan IAIN.
Wacana Keagamaan yang Dikembangkan IAIN
Dinamika intelektual kalangan IAIN ternyata tidak berhenti pada figur-figur Harun Nasution, Mukti Ali dan Nurcholish Madjid, melainkan terus berkembang pada beberapa generasi sesudahnya. Sejumlah pemikir muda telah muncul untuk meneruskan tradisi intelektual yang diwariskan oleh para pendahulunya tersebut. Yang lebih menarik lagi, wacana intelektual yang dikembangkan pun semakin beragam sejalan dengan diskursus intelektual yang berkembang. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (keduanya adalah alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) telah dengan sangat baik merekonstruksikan wacana intelektual di bidang pemikiran keislaman pada masa orde baru. Mereka mencatat, setidaknya telah muncul berbagai respon—dikategorikan sebagai pola pemikiran yang modernis, neo-modernis, universalis, sosial-demokratis, dan transformatif—yang dilakukan kalangan terpelajar Muslim di dalam menghadapi berbagai macam perubahan sosial, politik, budaya dan keagamaan di Indonesia.
Wacana keagamaan yang dikembangkan, setidaknya dari tema-tema tulisan dan karya orang-orang IAIN belakangan, telah menunjukan kegairahan intelektual mereka. Kini, mereka tidak canggung lagi untuk berbicara—selain, tentu saja wacana keislaman sebagai fokus utama—tentang masalah-masalah hak-hak asasi manusia, keadilan sosial, kesetaraan gender, civil society, dan demokratisasi (lihat pada tabel 1, 2 dan 3 tentang temuan-temuan yang menarik dari berbagai tulisan kalangan IAIN pada bahasan selanjutnya). Untuk menyebut beberapa nama, para penulis yang dibesarkan dalam tradisi intelektual IAIN yang telah dikenal publik sebagai penulis prolifik adalah Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Saiful Mujani, Masdar F. Mas’udi dan Abdul Munir Mulkhan. Belakangan, pada generasi berikutnya, para penulis muda berbakat lainnya bermunculan di IAIN dan menulis secara luas di berbagai surat kabar nasional. Di antara mereka tercatat di antaranya adalah Muhammad Wahyuni Nafis, A. Najib Burhani, Sukidi, Al-Zastrouw, dan Syafiq Hasyim. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena setidaknya sejak akhir 1980-an, terjadi perkembangan yang sangat pesat dari para sarjana IAIN yang kemudian bergelut di dunia pers/media massa.
Bahkan, perkembangan wacana pemikiran keislaman dan keagamaan yang luas itu juga sudah merambah di tingkat pascasarjana pada beberapa IAIN. Hal ini, misalnya, bisa terlihat dari berbagai karya tesis dan disertasi yang dilakukan para peserta program pascasarjana di tingkat IAIN. Untuk menyebut beberapa nama sebagai contoh, karya-karya yang dihasilkan sarjana seperti Suadi Sa’ad, Muhammad Nurhakim, H. Aqib Suminto, Kautsar Azhari Noer dan M. Ali Haidar telah menguatkan berbagai asumsi perkembangan wacana intelektual di kalangan IAIN. Sebagaimana yang bisa dilihat pada karya-karya yang ditulis mereka, kalangan IAIN tidak lagi melulu fokus di sekitar studi tentang ajaran-ajaran Islam normatif, tetapi sudah mulai melebar kepada kajian-kajian keagamaan yang sifatnya empirik, dengan menggunakan metode ilmu-ilmu sosial dan pendekatan-pendekatan teoretis moderen lainnya. Penilaian seperti ini datang dari Karel Steenbrink yang sempat mengadakan penelitian tentang kajian-kajian sejarah oleh para dosen IAIN dan menemukan bahwa "cukup banyak disertasi dari fakultas pascasarjana…yang diarahkan pada tema sejarah."
Sementara itu, pada level intelektual muda IAIN, berbagai isu kontemporer seperti masalah agama dan pluralisme, kesetaraan gender dan civil society menjadi diskursus yang dominan. Untuk menunjukan sebuah contoh, berikut dikutip sebuah pandangan yang khas dari generasi muda intelektual IAIN. Misalnya, dalam konteks menuju hubungan yang lebih saling menghargai dan saling memahami (mutual understanding), Syafiq Hasyim mengutarakan pendapatnya,
“…masyarakat Islam harus rela menanggalkan sifat dan karakter superioritas agamanya, namun jangan inferior juga vis a vis yang lain (the other). Dan Barat pada satu sisi juga harus fair dan demokratis dalam membagi kesempatan maju negara-negara pra-industri dalam mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi…di samping itu desakralisasi politik adalah sisi penting lainnya. Dengan desakralisasi kita bisa melindungi eksploitasi agama dari tujuan-tujuan politik…agama sepantasnyalah menyediakan jawaban-jawaban bagi persoalan-persoalan human existence (eksistensi manusia).”
Sebelumnya, sejumlah penulis berlatar belakang IAIN seperti Sudirman Tebba berbicara mengenai agama dan politik. Ia, misalnya, melihat pentingnya suara umat Islam di dalam Pemilu 1997 untuk meneruskan “proyek Islam” yang telah dikembangkan pemerintah Orde Baru, khususnya dengan lewat proses kedekatan antara pemerintah dan umat Islam. Hal ini ditandai dengan munculnya ICMI pada tahun 1990, dibentuknya Bank Muamalat Indonesia (BMI)—yang menjadi payung bagi tumbuhnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berdasarkan syariat Islam, Asuransi Takaful. MUI juga berperan di dalam melakukan sertifikasi dan labelisasi produk makanan, minuman, dan kosmetik yang halal. Hal ini dimungkinkan berkat kerjasama Departemen Agama dan Departemen Kesehatan.
Sementara itu, masih dalam konteks agama dan politik, Bahtiar Effendy melihat peran yang cukup signifikan dari munculnya berbagai ormas Islam di Indonesia, yang dianggapnya sebagai bagian dari wacana keislaman. Bahtiar Effendy dikenal sebagai seorang pengamat politik—di samping nama-nama lain seperti Fachry Ali, Nurcholish Madjid dan Azyumardi Azra—dan semakin mengukuhkan peran intelektual IAIN yang semakin berkembang, seperti yang dinilai oleh Woodward sebelumnya. Di samping wacana keagamaan, beberapa orang IAIN juga terlibat dalam diskusi mengenai masalah agama dan negara. Pada gilirannya, corak pemahaman yang demikian memudahkan kalangan IAIN untuk menawarkan dan mengungkapkan gagasan-gagasan yang berkenaan dengan Islam dan berbagai isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, keadilan sosial dan pluralisme.
Dengan semakin berkembangnya wacana intelektual di kalangan terpelajar IAIN—di tambah lagi dengan semakin terbukanya kesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi baik di Timur Tengah maupun Barat—semakin jelas bahwa tradisi intelektual di kalangan IAIN berkembang lebih pesat dari sebelumnya. Hal itu bisa dengan mudah dilihat dengan semakin meluas dan melebarnya ruang lingkup area of concern dan area of expertise mahasiswa-mahasiswa IAIN yang melanjutkan studinya baik di dalam maupun luar negeri. Hasilnya, adalah bermunculannya beberapa orang IAIN yang berhasil meraih gelar doktor di berbagai bidang, seperti Azyumardi Azra, M. Atho Mudzhar, M. Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Masykuri Abdillah dan Mulyadhi Kartanegara (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), M. Amin Abdullah, Akh. Minhaji dan Faisal Ismail (IAIN Yogyakarta), Syafiq Mughni dan M. Thoha Hamim (IAIN Sunan Ampel Surabaya), Abdurrahman Mas’ud dan A. Qodri Azizi (IAIN Walisongo Semarang), Ahmad Nur Fadil Lubis (IAIN Sumatera Utara) dan sederet nama lainnya.
IAIN—lewat Departemen Agama, utamanya sejak dipimpin oleh Menteri Munawir Sjadzali—sudah melakukan kerjasama di bidang pendidikan dengan beberapa universitas di Eropa dan Amerika Utara. Di dalam konteks ini Munawir berperan besar di dalam penciptaan terbukanya kesempatan bagi generasi muda IAIN untuk menimba ilmu di Barat. Dalam catatan Zamakhsyari Dhofier, Munawir berperan meyakinkan pemerintah Indonesia mengenai pentingnya peranan IAIN di dalam pengembangan intelektualisme di kalangan Muslim (Islamic intellectualism) Indonesia. Islamic intellectualism harus digabungkan dengan national intellectualism lewat sebuah program yang memungkinkan kalangan terpelajar Islam untuk belajar di berbagai universitas bergengsi di Barat, di mana para ahli ekonomi, politik dan sosiologi Indonesia juga meraih gelar doktor. Sehingga dengan demikian, komunikasi intelektual di antara intelektual Muslim dan intelektual Indonesia lainnya bisa terjadi dengan lebih intensif. Dari sinilah kemudian program pengembangan IAIN (IAIN Development Program) seperti yang terwujud dalam program “pembibitan dosen” IAIN yang dimulai sejak akhir 1980-an menemukan signifikansi pentingnya.
Publikasi Karya-karya Orang-orang IAIN
Salah satu indikator paling kuat dari tumbuhnya tradisi intelektual di kalangan IAIN adalah semakin berkembangnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, publikasi karya-karya kalangan terpelajar IAIN. Sejak awal 1980-an, terjadi peningkatan yang cukup signifikan di dalam penerbitan buku-buku keislaman. Lebih dari itu, setidaknya dalam lima tahun terakhir, terdapat jumlah yang signifikan dari karya-karya tulis kalangan IAIN, utamanya dalam bentuk artikel koran, artikel di jurnal ilmiah dan buku-buku ilmiah tentang Islam.
Artikel-artikel Koran
Dalam penelitian bibliografis yang dilakukan terhadap berbagai tulisan kalangan IAIN (dosen, alumni dan mahasiswa) dalam lima tahun terakhir (sejak tahun 1995-2000) di tujuh media cetak, utamanya harian nasional (Kompas, Pelita, Media Indonesia, Jawa Pos, the Jakarta Post, Merdeka dan Republika), ditemukan setidaknya 222 tulisan dan artikel yang ditulis secara beragam dari segi tema dan isu. Dari setidaknya sepuluh tema dan isu yang ada, penelitian atas ratusan tulisan kalangan IAIN itu menunjukkan bahwa yang menjadi perhatian utama adalah masalah “agama, etika dan spiritualitas” (22,07%), yang disusul dengan masalah “agama dan politik” (20.27%), kemudian tema “pluralisme agama dan budaya” (17,56%), dan masalah “agama dan keadilan sosial” sebanyak 11,71%. Untuk penjelasan yang lebih detail, lihat tabel berikut ini:
Tabel 1
Sepuluh Tema Bahasan dalam 222 Artikel Koran Kalangan IAIN*) yang Ditemukan dalam Tujuh Media Cetak Nasional**) sejak 1995-2000:
No. Tema Jumlah %
1. Agama, HAM dan Demokrasi 6 2,70
2. Agama dan Keadilan Sosial 26 11,71
3. Kesetaraan Gender 16 7,20
4. Civil Society 10 4,50
5. Agama dan Politik 45 20,27
6. Islam dan Modernitas 20 9,00
7. Agama, Etika dan Spiritualitas 49 22,07
8. Pluralisme Agama dan Budaya 39 17,56
9. Lain-lain 11 4,95
Total 222 100
Keterangan:
*) Para penulis artikel yang secara eksplisit menyatakan mereka adalah mahasiswa, dosen atau alumni IAIN.
**) Kompas, Pelita, Media Indonesia, Jawa Pos, The Jakarta Post, Merdeka dan Republika.
Dari sejumlah 222 artikel yang ditemukan di dalam penelitian ini, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tak pelak lagi, menjadi tempat yang paling banyak memberikan kontribusi. Dari kampus Ciputat ini, sepanjang lima tahun terakhir, muncul setidaknya 143 tulisan karya orang-orang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Itu artinya, persentasenya mencapai 64,41% dari semua total tulisan yang ditemukan. Angka ini cukup fantastis, dan secara signifikan menunjukkan dominasi Jakarta sebagai pusat kemunculan tulisan orang-orang IAIN se-Indonesia, paling tidak di tujuh media sebagaimana disebutkan. Namun demikian, barangkali juga terdapat beberapa persoalan yang agak bias di sini. Misalnya, ternyata enam dari tujuh media yang diteliti, terbukti berkedudukan di Jakarta—kecuali Jawa Pos yang berpusat di Surabaya. Dan, IAIN Jakarta—di samping lima fakultas yang ada—juga memiliki program S-2 dan S-3 yang kuat, di mana sejumlah mahasiswa pascasarjananya memang banyak yang berasal dari IAIN-IAIN daerah. Jadi, terdapat kemungkinan, bahwa sebenarnya ketika disebut berasal dari “Jakarta,” mereka juga sekaligus berasal dari beberapa IAIN daerah.
Setelah Jakarta, Yogyakarta berada pada peringkat kedua sebagai pemberi kontribusi berbagai tulisan yang dimuat di tujuh media nasional tersebut. Dari IAIN Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai IAIN tertua ini, setidaknya tercatat 22 tulisan atau sekitar 9,90%. Sebenarnya, IAIN Yogyakarta memiliki akar-akar dan tradisi intelektual yang tingggi. Beberapa cendekiawan terkenal, seperti Mukti Ali, Simuh dan M. Amin Abdullah, mengajar di sini. Sangat mungkin, banyak sekali kalangan terpelajar IAIN Yogyakarta yang menulis lebih dari jumlah ini, khususnya di berbagai koran dan media lokal Yogyakarta. Namun, angka statistik ini hanya menunjukkan tingkat partisipasi intelektual mereka di dalam sosialisasi berbagai gagasan keagamaan dan sosial pada level nasional. Selanjutnya, disusul oleh IAIN Semarang yang menghasilkan 18 tulisan (8,10%). Dalam jumlah dan persentase yang seperti ini, IAIN Semarang mencatat fenomena tersendiri. Sebelumnya, kontribusi ilmiah IAIN Walisongo ini tidak begitu dikenal. Namun, beberapa catatan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan yang cukup signifikan setidaknya dalam lima tahun terakhir di IAIN Semarang. Setelah itu, IAIN Bandung menyumbang 11 tulisan (4,95%), disusul oleh IAIN Sumatera Utara yang menyumbang 8 tulisan (3,60%), dan IAIN Makassar sebanyak 5 tulisan (,25%). Tabel 2 berikut ini menggambarkan keadaan selengkapnya:
Tabel 2
Sebelas IAIN Asal Penulis 222 Artikel Koran Kalangan IAIN yang Ditemukan dalam Tujuh Media Cetak Nasional sejak 1995-2000
No. Asal IAIN Jumlah %
1. Jakarta 143 64,41%
2. Yogyakarta 22 9,90%
3. Semarang 18 8,10%
4. Bandung 11 4,95%
5. Sumatera Utara 8 3,60%
6. Makassar 5 2,25%
7. STAIN Mataram 4 1,80%
8. STAIN Malang 4 1,80%
9. Surabaya 3 1,35%
10. Banjarmasin 2 0,90%
11. Aceh 2 0,90%
Total 222 100%
Sementara itu, dari segi status penulis artikel di koran-koran itu, terdapat fenomena yang menarik. Yakni, terdapat jumlah dan persentase yang cukup berimbang di antara mahasiswa IAIN dan dosen IAIN. Jumlah mahasiswa yang menulis, baik pada tingkat S-1, S-2 dan S-3, sebanyak 86 orang yang berarti 38,73%. Disusul kemudian oleh penulis yang menyebut dirinya sebagai dosen sebanyak 79 orang atau sekitar 35,58%. Sisanya, dalam jumlah yang masih cukup siginifikan, adalah para penulis yang mengaku sebagai alumni IAIN yang berjumlah 57 orang atau sekitar 25,67% (lihat tabel 3).
Dari jumlah persentase yang seperti itu, dapatlah dikatakan bahwa mahasiswa IAIN, utamanya yang berada pada tingkat pascasarjana, merupakan komponen IAIN yang paling besar kontribusinya di dalam menyebarkan ide-ide dan gagasan-gagasan yang berkembang di IAIN. Hal ini bisa dipahami karena, paling tidak pada kasus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, atmosfir intelektual terasa lebih kental pada kalangan mahasiswa. Salah satu indikatornya adalah banyaknya kelompok-kelompok studi mahasiswa di kedua IAIN tertua tersebut (lihat pembahasan selanjutnya).
Tabel 3
Status Penulis IAIN dan Jumlah Artikel Koran
yang Ditemukan dalam Tujuh Media Cetak Nasional sejak 1995-2000
No. Status Jumlah %
1. Mahasiswa 86 38,73%
2. Dosen 79 35,58%
3. Alumni 57 25,67%
Total 222 100%
Sementara itu, dari sisi perbandingan penulis laki-laki dan perempuan, terdapat sebuah perbedaan yang sangat jauh mencolok. Sebagaimana yang diperlihatkan dalam tabel 4, dari 222 artikel yang ditulis kalangan IAIN, hanya terdapat 13 artikel penulis perempuan IAIN atau hanya sekitar 5,85%. Sementara itu, terdapat 214 artikel yang ditulis oleh penulis laki-laki IAIN, yang berarti 94,15%. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat kecenderungan yang cukup signifikan di dalam persentase partisipasi perempuan di dalam proses belajar dan mengajar di lingkungan IAIN, hal tersebut belum cukup membantu mengimbangi peranan para penulis laki-laki kalangan IAIN. Namun demikian, munculnya penulis-penulis perempuan yang dapat mensosialisasikan gagasan-gagasannya di publik dalam jumlah yang masih kecil ini merupakan sebuah langkah positif bagi IAIN, karena setidaknya pada dua dekade yang lalu, hal ini belum mungkin terjadi.
Tabel 4
Perbandingan Jumlah Artikel Koran berdasarkan Gender yang Ditulis Penulis IAIN
yang Ditemukan dalam Tujuh Media Cetak Nasional sejak 1995-2000
No. Jenis Kelamin Jumlah %
1. Laki-laki 209 94,15%
2. Perempuan 13 5,85%
Total 222 100%
Artikel Jurnal Ilmiah
Penelitian terhadapjurnal Studia Islamika—salah satu jurnal internasional bergengsi yang terbit di Indonesia dengan spesialisasi kajian Islam di Indonesia dan Asia Tenggara—menunjukkan adanya peranan kuat kalangan akademisi IAIN di dalam penulisan karya-karya ilmiah di bidang kajiannya masing-masing. Jurnal yang editorial-in-chief-nya Azyumardi Azra ini, bisa disebut satu-satunya jurnal ilmiah dalam kajian Islam yang dilanggan oleh berbagai perpustakaan dan universitas di luar negeri yang diterbitkan oleh IAIN (Jakarta). Kekuatan akademis ini ditunjukkan dengan diterbitkannya artikel-artikel tersebut dalam tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris dan Arab.
Selama kurun waktu 1994-1999, selama lima tahun, ditemukan sebanyak 88 artikel ilmiah yang ditulis kalangan akademisi IAIN dari sebanyak 145 artikel yang pernah diterbitkan, yang berarti 60,69%, sebagaimana yang ditunjukkan Tabel 5. Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai tulisan orang-orang IAIN sudah menjadi go public dan go international—siap dibaca kalangan akademisi dan pemerhati masalah Islam Asia Tenggara di berbagai negara.
Tabel 5
Jumlah artikel tentang Islam yang ditulis oleh penulis IAIN di Studia Islamika,
Indonesian Jurnal for Islamic Studies dalam kurun waktu 1994-1999:
No. Penulis Jumlah %
1. IAIN 88 60,69 %
2. Non-IAIN*) 57 39,31 %
T o t a l 145 100 %
Keterangan:
*)Penulis Non-IAIN adalah para penulis, peminat dan peneliti masalah keislaman dan keindonesiaan yang berlatar belakang bukan-IAIN.
Buku-buku Ilmiah tentang Islam
Hal lain yang penting untuk melihat perkembangan intelektual dan akademis kalangan IAIN, adalah dengan melihat sejumlah buku yang pernah diterbitkan penulis-penulis IAIN sendiri. Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa, dari tujuh penerbit buku besar yang berskala nasional—yakni, Paramadina, Logos, Gramedia, Pustaka Hidayah, UI Press, Djambatan, dan Mizan—sampai awal tahun 2000 ini terdapat setidaknya 143 judul buku yang ditulis, disunting dan diterjemahkan kalangan IAIN, dari sekitar 418 buku ilmiah keislaman sejenis yang ditemukan hingga awal tahun 2000. Itu artinya, kalangan cendekiawan IAIN telah memberikan kontribusi lebih dari sepertiga (34,21%) dari buku-buku ilmiah tentang Islam.
Hal lain yang menarik adalah munculnya beberapa penerbit yang secara dominan menerbitkan karya-karya orang-orang IAIN, seperti penerbit Logos (98,08%), dan Paramadina (78,05%). Keduanya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, telah menjadi wahana yang baik bagi pengembangan dan sosialisasi gagasan keislaman dan keagamaan kalangan akademisi dan intelektual IAIN (Untuk lebih detailnya, lihat tabel 6 di bawah ini).
Tabel 6
Hasil Karya Tulis dan Suntingan Kalangan IAIN di 7 (Tujuh) Penerbit Buku Nasional*) dan Perbandingannya dengan Terbitan Sejenis di Bidang Keislaman:
No. Penerbit Jumlah %
1. Paramadina, Jakarta 32 dari 41 78,05%
2. Mizan, Bandung 43 dari 195 22,05%
3. Logos, Jakarta 51 dari 52 98,08%
4. Pustaka Hidayah, Bandung 4 dari 103 3,89%
5. Djambatan, Jakarta 2 dari 3 66,67%
6. UI Press, Jakarta 9 dari 20 45,00%
7. Gramedia, Jakarta 3 dari 4 75,00%
T o t a l 143 dari 418 34,21%
Keterangan:
*) Bahan-bahan dan informasi diambil dari katalog buku terbitan ke-tujuh penerbit hingga awal tahun 2000.
Perlu dijelaskan di sini bahwa, di dalam penelitian ini, beberapa penerbit yang dikenal luas banyak menerbitkan buku-buku keislaman seperti Mizan dan Pustaka Hidayah nampak menunjukkan persentase yang lebih kecil dari, misalnya, penerbit Gramedia. Hal ini disebabkan karena kedua penerbit asal Bandung itu banyak menerbitkan karya-karya keislaman penulis Muslim lain yang bukan IAIN, bahkan banyak di antaranya merupakan karya terjemahan baik yang berasal dari bahasa Inggris maupun bahasa Arab.
Perkembangan Tradisi Intelektual Islam Indonesia
Kelompok-kelompok Studi Mahasiswa
Mahasiswa—sebagai salah satu komponen masyarakat terpelajar yang penting—sangat besar pengaruhnya di dalam laju pergerakan sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia moderen, mahasiswa telah terbukti berada di garda depan di dalam sejumlah proses perubahan sosial dan bahkan politik, seperti yang terjadi pada gerakan mahasiswa tahun 1966, dan yang paling mutakhir, tentu saja, gerakan reformasi—gerakan moral yang meruntuhkan kekuasaan Suharto dan pemerintahan Orde Baru.
Tradisi intelektual di kalangan mahasiswa—yang kritis, terkadang anti-kemapanan, dan independen—tidak pernah lahir begitu saja secara given. Hal ini selalu diawali dengan pergulatan pemikiran yang intensif, kritikal dan terbuka. Kemudian, pemikiran-pemikiran itu terakumulasi sedemikian rupa sehingga muncul tuntutan untuk menuangkan ide-idenya ke dalam bentuk aksi sosial seperti demonstrasi. Dalam konteks IAIN—di mana nilai-nilai keagamaan sering menjadi pertimbangan yang signifikan—atmosfir intelektualisme yang dikembangkan mungkin tidak selalu sejalan dengan tradisi intelektual yang berkembang pada kampus-kampus universitas dan Perguruan Tinggi umum.
Namun demikian, ada hal yang perlu dicatat bahwa, kelompok-kelompok studi mahasiswa—yang sering menjadi tempat penggodokan berbagai ide-ide segar mahasiswa—juga berkembang pesat di beberapa lingkungan IAIN. Akibatnya, meskipun terkadang berbeda visi dan orientasi, terdapat beberapa garis benang merah yang menghubungkan antara sesama mahasiswa tersebut. Dan, dari sini, muncul beberapa kelompok studi yang berkembang di lingkungan IAIN yang juga diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok lainnya.
Dari pengamatan penulis, di lingkungan kampus IAIN Jakarta terdapat beberapa kelompok studi dan diskusi mahasiswa—beberapa di antaranya cukup dikenal pada skala nasional pada akhir 80-an dan awal 90-an—seperti Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat), Piramida Circle, dan Respondeo. Di IAIN Yogyakarta, beberapa kelompok diskusi seperti al-Jami’ah pada dekade 1980-an, dan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), sangat berpengaruh di dalam kehidupan akademis mahasiswa Yogyakarta. Formaci dan al-Jami’ah sangat dikenal karena telah melahirkan banyak intelektual-intelektual muda Muslim yang progresif dan berpengaruh, yang hingga kini banyak aktif di dalam kegiatan-kegiatan akademis dan kebudayaan, khususnya untuk generasi intelektual Muslim Indonesia tahun 1980-an, seperti Saiful Mujani, Ihsan Ali Fauzi, Budhy Munawar-Rachman dan Ali Munhanif (Jakarta), Samsurizal Panggabean dan Taufik Adnan Amal (Yogyakarta).
Kemunculan berbagai Lembaga Kajian Keislaman
Munculnya fenomena kelas menengah Muslim pada dekade 80-an di Indonesia, menghadirkan fenomena yang menarik di dalam wacana keislaman. Yakni, semakin banyaknya kalangan Muslim terpelajar—yang secara kultural mereka adalah urban namun tetap memperlihatkan sikap dan komitmen mereka terhadap Islam—dan menunjukkan keinginan yang luar biasa untuk kembali mendalami ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Konsekuensinya, pengajian-pengajian yang biasanya hanya menjadi konsumsi dan praktik keagamaan masyarakat Muslim tradisional, juga menggejala di kalangan mereka. Bedanya, kalau kalangan masyarakat Islam tradisional menyelenggarakannya di mushalla, mesjid atau lapangan dengan mengundang da’i-da’i kondang, mereka mengadakan pengajian-pengajian itu di hotel-hotel berbintang, dan kantor-kantor. Fenomena ini, oleh beberapa pengamat, terkadang secara kurang hati-hati, disebut sebagai fenomena kebangkitan Islam.
Karena budaya mereka yang urban, maka pengajian-pengajian itupun dilaksanakan sesuai dengan taraf kebudayaan dan tingkat intelektualitas urban pula. Dalam konteks ini, kemunculan beberapa kelompok pengajian dan lembaga-lembaga kajian keislaman sebagai respon terhadap semakin meningkatnya minat kalangan kelas menengah ini sangat mudah dipahami. Karena sifat pendekatan Islamnya yang terbuka, inklusif dan tidak melulu indoktrinasi, beberapa intelektual dan dosen IAIN menjadi diminati untuk menjelaskan Islam yang bisa lebih sesuai dipahami dengan konteksnya.
Salah satu lembaga yang paling awal memberikan respon positif terhadap perkembangan baru ini adalah Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Lembaga yang didirikan pada 31 Oktober 1986 ini banyak diprakarsai oleh beberapa aktivis dan intelektual Muslim yang sudah dikenal baik oleh publik, seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan Utomo Danandjaya. Meskipun kemudian dikenal sebagai lembaga kajian keislaman kalangan Muslim modernis, Paramadina disebut sebagai lembaga, “to preach and develop the notion of an inclusive and tolerant Islam.” Dan, memang, pada awal-awal kegiatannya, Paramadina juga seringkali mengundang pembicara dari kelompok “lain” seperti dari kalangan Muslim tradisionalis NU. Tidak heran kemudian, para peserta yang hadir dalam pengajian-pengajian Paramadina memiliki latar belakang yang beragam, termasuk penganut agama lain.
Yang sering menjadi penceramah dan pembicara dalam forum-forum Paramadina ini—selain tokoh agama dan intelektual lainnya—tercatat beberapa nama seperti Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, Quraish Shihab, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Nasaruddin Umar, M. Amin Suma, dan Zainun Kamal—semuanya adalah dosen-dosen IAIN Jakarta. Mereka sering diundang untuk menjelaskan beberapa permasalahan keagamaan dari perspektif bidang kajiannya masing-masing. Sebagai akibatnya, pola pemahaman keagamaan mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh cara pandang dan pendekatan studi Islam yang telah sekian lama dikembangkan kalangan IAIN. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa, setidaknya dari kasus Paramadina di Jakarta, peranan orang-orang IAIN didalam mentransfer pemahaman keislaman kepada publik sangatlah signifikan.
Catatan Penutup
Perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan masyarakat Islam Indonesia tentu saja tidak terbatas kepada apa yang terjadi di dalam dinamika pemikiran kalangan terpelajar—mahasiswa, alumni dan dosen—IAIN saja, melainkan juga pada masyarakat luas lainnya. Semakin banyaknya intelektual Muslim dari kalangan kampus umum non-IAIN yang juga berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam di Tanah Air cukup membuktikan hal tersebut. Namun demikian, perubahan paradigma pemikiran keislaman yang terjadi di kalangan IAIN—seperti yang diindikasikan oleh berbagai publikasi karya-karya kalangan IAIN—berjalan seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, ditambah dengan munculnya dinamika akademik dan intelektual kalangan IAIN, sangat menarik untuk dicermati.
Bagi sebagian masyarakat, IAIN dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang kadang-kadang terlalu “sekuler” di dalam mengajarkan kajian keislaman. Apalagi, belakangan, khususnya pada akhir 1980-an, terdapat kecenderungan perubahan orientasi studi keislaman dengan pengiriman dosen-dosen muda IAIN ke beberapa universitas di Barat dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kajian awal ini masih jauh dari sempurna untuk lebih memahami perubahan paradigma dan perkembangan mutakhir IAIN, dan masih diperlukan telaah-telaah lanjutan yang lebih spesifik lagi. Namun demikian, berbagai asumsi dasar dan penjelasan yang terdapat di dalam tulisan ini menunjukkan bahwa IAIN, sebagai sebuah institusi pendidikan keislaman telah mengalami berbagai perubahan baik visi maupun orientasi, yang terjadi sebagai akibat dari dinamika internal dan eksternal yang begitu intensif kalangan Muslim terpelajar Indonesia. Pengaruh-pengaruh pemikiran keislaman, baik yang berkembang di Barat dan Timur—sebagaimana yang bisa dilacak dari berbagai lulusan IAIN dari berbagai universitas di dua wilayah tersebut— dan berbagai pendekatan (metodologi) di dalam mengkaji Islam juga sangat berperan besar di telah memunculkan warna dan paradigma baru tersebut.
Setidaknya terdapat lima indikator yang diperkuat dengan beberapa bukti empiris mengenai peranan IAIN di dalam pengembangan wacana pemikiran keislaman dan intelektual Indonesia. Kelima indikator tersebut adalah: beragamnya wacana keagamaan yang dikembangkan, peningkatan jumlah sarjana, khususnya yang bergelar doktor dan master, peningkatan jumlah publikasi berupa artikel koran, jurnal ilmiah dan buku yang diterbitkan, semakin menjamurnya kelompok-kelompok studi, dan terakhir kemunculan berbagai kelompok-kelompok kajian keagamaan dan keislaman. Pengaruh IAIN di dalam hal ini utamanya bisa dilihat dalam horizon wacana pemikiran Islam yang semakin luas.
---------
Dadi Darmadi adalah dosen pada Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-IAIN Jakarta, menyelesaikan S2 di Department of Religious Studies, University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, 1998.
Tulisan ini berasal dan dikembangkan dari hasil penelitian saya mengenai "The Development of Religious Intellectual Discourse," yang merupakan salah satu bab yang terdapat dalam laporan penelitian Impact on the Development and Modernization of Islam in Indonesia yang dilaksanakan pada Desember 1999-Maret 2000 oleh LPIU-IAIN Jakarta, kerjasama antara IAIN dan McGill University. Penulis mengucapkan terimakasih kepada McGill-IAIN Higher Education Project, khususnya Phil Williams, atas sponsornya dan izin penerbitan tulisan ini, teman-teman PPIM dan IAIN Jakarta, khususnya Jajat Burhanuddin atas berbagai ide awal tulisan ini, Fuad Jabali, Sirajuddin Abas, Arief Subhan, Abas al-Jauhari dan Ismatu Ropi atas berbagai informasinya. Kepada Dr. Komaruddin Hidayat (Ditperta, Depag RI) dan Bapak Chris Dagg (Simon Fraser University, BC, Canada) saya berhutang budi atas berbagai saran dan kritikannya. Namun demikian, semua isi tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
Misalnya, menurut Azyumardi Azra, setidaknya dalam kurun waktu abad ke-17 dan 18, terdapat bukti yang kuat mengenai adanya pengaruh jaringan ulama Timur Tengah dan proses pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1994).
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), halaman 15.
B.J. Boland. The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), halaman 212.
Karel Steenbrink, "Menangkap Kembali Masa Lampau: Kajian-kajian Sejarah oleh Para Dosen IAIN," dalam Mark R. Woodward (ed.). Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), halaman 156-157.
Karel Steenbrink, "Menangkap Kembali”, halaman 157-158.
Lihat, Richard C. Martin, Mark R. Woodward dan Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford, England: Oneworld Publications, 1997), halaman 148.
Karel Steenbrink, "Menangkap Kembali,” halaman 158.
Ihsan Ali-Fauzi, wawancara, Tangerang: Sabtu, 11 Maret, 2000. Ihsan Ali Fauzi adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan dikenal sebagai salah seorang intelektual muda Muslim generasi 80’an. Ia pernah aktif menjadi wartawan harian Republika dan penulis, penerjemah dan editor beberapa buah buku mengenai Islam dan masalah keindonesiaan. Kini ia menekuni bidang penelitian dan advokasi masalah Islam, HAM dan demokrasi di Voice Center Indonesia, Jakarta.
Istilah "mobilitas vertikal" sering digunakan dalam perspektif sosiologis untuk melihat perkembangan dan interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat, namun dalam hal ini saya lebih merujuk kepada istilah tersebut yang sering dikemukakan Sirajuddin Abas, peneliti dari PPIM-IAIN Jakarta, khususnya untuk menjelaskan fenomena munculnya generasi baru Muslim terpelajar IAIN--yang notabene kebanyakan berasal dari kalangan santri dan pesantren secara keagamaan, dan menengah ke bawah dan pedesaan secara ekonomi dan geografis--namun bisa memunculkan diri menjadi "bagian" dari kalangan menengah perkotaan. Lihat, hasil laporan penelitian Impact on the Development and Modernization of Islam in Indonesia, khususnya pada bab "Strengthening the Islamic Education System."
Nurcholish Madjid, wawancara, Bogor: Sabtu, Maret 11, 2000. Prof. Dr. Nurcholish Madjid adalah Doktor bidang Filsafat dan Pemikiran Islam lulusan University of Chicago, 1984. Sebelumnya ia kuliah di jurusan Sastra dan Kebudayaan, Fakultas Adab, di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan lulus pada 1968. Ia juga adalah lulusan Pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang dan KMI Pondok Modern Darus Salam, Gontor, Ponorogo pada 1960. Mantan Ketua Umum HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dua periode ini (1966-1971) kini lebih dikenal sebagai Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, di samping pengamat masalah sosial, politik dan keagamaan.
Ihsan Ali-Fauzi, wawancara.
Oleh karena pendekatannya terhadap Islam seperti ini, banyak kalangan terpelajar Muslim lainnya, utamanya mereka yang mendapatkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi negeri, menganggap kalangan IAIN telah menjadi “sekuler”.
Abd. A'la, “Islam Indonesia di Pergantian Abad dan Prospeknya,” Kompas, Jumat, 4 Februari 2000, halaman 4-5. Abd. A'la adalah doktor lulusan program S3 Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kini ia menjadi pengamat masalah sosial keagamaan dan tinggal di Sumenep, Madura.
Pandangan seperti ini sudah cukup sering dikemukakan banyak kalangan. Namun, dalam hal ini, kami mengutip penjelasan Richard G. Kraince, seorang kandidat PhD dari Ohio University yang tengah mengadakan penelitian tentang IAIN dan modernisasi pendidikan di Indonesia. Richard G. Kraince, wawancara, Jakarta, 23 Februari 2000.
Sudah sejak lama terbentuk semacam polarisasi—paling tidak merupakan identifikasi masing-masing IAIN—bahwa IAIN Jakarta adalah kampus “pembaharuan pemikiran Islam” dan IAIN Yogyakarta adalah kampus “pusat studi perbandingan agama.” Paling tidak, hal itu tetap diakui hingga masa Munawir Sjadzali dan Tarmizi Taher menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Pada dekade 80 dan 90-an, di kalangan aktifis mahasiswa dan kelompok studi Formaci, Ciputat, misalnya sering diungkapkan perlunya pengembangan Ciputat School of Thought—mazhab pemikiran Ciputat. Istilah ini mendapatkan legitimasi yang lebih kuat dengan munculnya sebuah buku yang baru-baru ini memuat berbagai tulisan kalangan intelektual IAIN Ciputat. Lihat, Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999). Buku ini memuat berbagai tulisan sejumlah intelektual Muslim yang dikenal muncul dari Ciputat, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, Kautsar Azhari-Noer, Budhy Munawar-Rachman, Saiful Mujani, Ihsan Ali Fauzi dan Ahmad Sahal.
Untuk melihat pemikiran-pemikiran Nurcholish semasa muda, lihat buku kumpulan tulisannya, Pikiran-pikiran Nurcholish ‘Muda’: Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan, (Agus Edi Santoso, ed.) (Bandung: Penerbit Mizan, 1994). Cetakan kedua.
Berbagai tulisan kolom dan artikelnya muncul di berbagai media massa Indonesia, di samping sejumlah makalah-makalah ilmiahnya yang ia sampaikan dalam berbagai forum seminar, baik dalam maupun luar negeri. Sebagian tulisannya juga dimuat dalam buku-buku kumpulan tulisan, seperti “The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: a Participant’s Point of View” dalam Gloria Davis (ed.), What is Modern Indonesian Culture (Athens, OH: Ohio University, 1978); “Islam in Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullapilly (ed.), Islam in the Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982); “In search of Islamic Roots for Modern Pluralism: the Indonesian Experiences” dalam Mark. K. Woodward, (ed.), Toward a New Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996). Berapa bukunya yang telah terbit, antara lain, adalah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984); Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Agus Edi Santoso, ed.) (Bandung: Penerbit Mizan, 1988); Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1987/1988); Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992); Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994); Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995); Islam Agama Peradabann (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995); Dialog Keterbukaan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1997); Cendekiawan dan Religiositas Masyarakat (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999).
Untuk uraian lengkap sejarah perkembangan pemikiran dan biografi intelektual Harun Nasution, lihat Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution (Jakarta: LSAF, 1989); Saiful Mujani, “Mu’tazilah Theology and the Modernization of the Indonesian Community: Intellectual Portrait of Harun Nasution,” Studia Islamika, No. 1, Vol. 1, 1989, halaman 91-131; Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai Teologi Islam Rasional,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial-Intelektual (Jakarta: Balitbang Depag dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, 1999), halaman 439-477; dan Richard C. Martin and Mark R. Woodward with Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in Islam: Mu'’azilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford, England: Oneworld Publications, 1997), khususnya pada Bagian II, “Harun Nasution and Modern Mu’tazilism,” halaman 119-193.
Untuk telaah lebih mendalam biografi Mukti Ali, lihat Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, Balitbang dan PPIM, 1998), halaman 271-319.
Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai Teologi,” halaman 456-458 dan 460-464.
Pandangan seperti ini, misalnya, pernah dikemukakan oleh Taufik Abdullah, salah seorang sejarawan paling terkemuka Indonesia dewasa ini, seperti yang pernah ia tulis dalam, “The Formation of a New Paradigm? A Sketch on Contemporary Islamic Discourse,” dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan tentang perkembangan studi-studi Islam di Indonesia hasil suntingan Mark R. Woodward, Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian Islamic Thought (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996), halaman 73.
Harun Nasution banyak menulis tentang teologi Islam rasional, khususnya teologi Mu’tazilah dan Muhamad Abduh. Misalnya, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972); Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987). Kedua karya ini merupakan terjemahan dari beberapa bab dari disertasi doktornya yang ia raih dari Institute of Islamic Studies, McGill University, 1968. Namun, karya Harun Nasution yang dianggap paling monumental adalah karyanya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1974). Buku ini terdiri dari dua volume.
Lihat, Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 278-284.
Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 281-284.
Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 286.
Nurcholish Madjid, wawancara.
Djohan Effendy adalah lulusan Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai salah seorang motor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Untuk telaah mendalam atas Djohan Effendy (bersama dengan Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid), lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (terj. Nanang Tahqiq) (Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara, 1999).
Ahmad Wahib (alm.) dikenang sebagai seorang pemikir muda Muslim yang liberal. Untuk lebih mengenal berbagai gagasan-gagasan keislamannya, lihat kumpulan catatan harian Wahib yang kemudian disunting Djohan Effendi dan Ismet Natsir, Pergolakan Pemikiran Islam, (Jakarta: LP3ES, 1981).
Kini, M. Dawam Rahardjo adalah cendekiawan Muslim yang juga Guru Besar bidang Ekonomi Pembangunan pada Universitas Muhammadiyah Malang dan Rektor Universitas Islam “45” Bekasi. Ia juga dikenal sebagai Ketua ICMI Pusat dan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN), serta direktur LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat).
Ihsan Ali Fauzi, wawancara.
Nurcholish Madjid, wawancara.
Abdul Halim, mahasiswa Fakultas Tarbiyah semester XI, IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, wawancara, Banjarmasin, 17 Februari 2000.
Harun Nasution meraih gelar Doktor pada tahun 1968, dan Mukti Ali meraih gelar MA pada tahun 1957 dari Institute of Islamic Studies, McGill University. Lihat Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution Penyemai,” halaman halaman 457-458, dan Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali; Modernisasi,” halaman 284.
Tepatnya, Nurcholish Madjid menjadi Visiting Professor di Institute of Islamic Studies, McGill University sebagai bagian dari McGill-Indonesia Project, pada 1991-1992.
Lihat Karel Steenbrink, "Menangkap Kembali,” halaman 158.
Dr. Fazlur Rahman adalah Harold H. Swift Distinguished Service Professor di bidang kajian keislaman, University of Chicago. Beberapa intelektual Muslim ternama Indonesia yang pernah mendapatkan kesempatan belajar padanya adalah Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Amin Rais dan Dr. A. Syafi'i Ma'arif.
Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Penerbit Mizan, 1986).
Komaruddin Hidayat adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, dan meraih gelar Doktor dalam kajian keislaman dari METU, Ankara Turki. Ia melanjutkan studinya bersama dengan M. Amin Abdullah dari IAIN Yogyakarta, yang juga meraih gelar Doktor dari universitas yang sama.
Fachry Ali menamatkan BA-nya dari Fakultas Adab, pada bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam, IAIN Jakarta. Kemudian ia menamatkan program Master dari Monash University, Australia. Ia termasuk salah seorang perintis tradisi intelektual IAIN yang aktif menjadi penulis dan peneliti pada LP3ES, sebuah lembaga kajian yang paling berpengaruh di Indonesia sejak awal tahun 1980-an.
Bahtiar Effendy pernah belajar di Pesantren Pabelan, Jawa tengah, sebelum akhirnya ia melanjutkan studinya di Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta. Yang menarik, ia adalah sedikit di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika, di sebuah SLTA di Columbia Falls, Montana, AS. Selanjutnya, ia meraih MA di bidang politik dari Ohio University, Athens, AS. Pada tahun 1994, ia meraih gelar Doktor di bidang yang sama dari Ohio State University, Columbus, AS dengan menulis disertasi yang berjudul, “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia.” Untuk edisi bahasa Indonesianya, lihat Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (terj. Ihsan Ali-Fauzi) (Jakarta: Paramadina, 1998).
Saiful Mujani adalah lulusan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, dan termasuk di antara intelektual Muslim yang berkembang pada generasi 1980-an. Sebagai peminat dan pengamat masalah sosial, agama dan politik, berbagai tulisannya tersebar di banyak media massa. Kini ia sedang menyelesaikan program S-3 di bidang Ilmu Politik, Ohio State University, AS di bawah bimbingan Prof. William Liddle. Lebih jauh mengenai biografi dan refleksi pemikirannya, lihat dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir, Mencari Islam: Biografi Intelektual Generasi Muslim 1980an (Bandung: Penerbit Mizan, 1990).
Masdar F. Mas’udi adalah lulusan Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta tahun 1979 yang kemudian lebih dikenal sebagai tokoh NU dan aktifis LSM. Salah satu pokok pikirannya adalah perihal penafsiran baru terhadap persoalan zakat dan pajak. Di samping menjadi pengamat masalah sosial keagamaan, ia menjabat sebagai Direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta.
Abdul Munir Mulkhan adalah dosen IAIN Yogyakarta, dan sedang melanjutkan program S-3 di UGM. Ia dikenal sebagai penulis prolifik dengan tema-tema berkisar antara agama dan masalah sosial budaya.
Penyebutan beberapa nama di sini secara tidak terelakkan memang terkesan agak berbau bias Jakarta dan Yogyakarta, tapi tulisan mereka yang disebutkan memang sering menghiasi koran-koran nasional. Kemungkinan besar juga terdapat fenomena menarik di IAIN-IAIN daerah, dan hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Suadi Sa’ad, “Islam Menghadapi Tantangan Kemerdekaan: Pandangan Mohammed Arkoun,” Thesis MA, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995.
Muhammad Nurhakim, “Rekonstruksi Warisan Intelektual: Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi,” Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995.
H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda: Het Kantoor Voor Inlandsche Zoken 1899-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985).
Kautsar Azhari Noer, “Wahdat al-Wujud ibn Arabi dan Panteisme,” Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993.
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1994).
Lihat Karel Steenbrink, "Menangkap Kembali," halaman 159.
Syafiq Hasyim, “Islam dan Tantangan Kominikasi Global,” Media Indonesia, 12 Juli 1996. Syafiq Hasyim adalah lulusan Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1996. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh muda NU yang progresif, dan bergabung dengan aktifis muda NU lainnya di Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M), Jakarta. Sebuah buku hasil suntingannya mengenai kesetaraan gender telah terbit dengan judul, Menakar Harga Perempuan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999).
Sudirman Tebba, “Pemilu dan Umat Islam,” Republika, 5 April 1997.
Bahtiar Effendy, “Pasang Surut Ormas Islam,” Republika, 21 Febuari 1997.
Beberapa penulis yang lebih senior dari kalangan IAIN, seperti Nurcholish Madjid, Fachry Ali, dan Bahtiar Effendy sudah terlibat dengan diskusi-diskusi dalam tema ini. Namun demikian, belakangan sejumlah penulis muda juga turut aktif mendiskusikan gagasan-gagasannya di seputar topik ini. Sebagai sebuah contoh, lihat misalnya, tulisan Rumadi, "Agama Tanpa Negara," Kompas, Jumat, 4 Februari 2000, halaman 4. Rumadi adalah mahasiswa S3 program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan peneliti pada Institute for the Study and Advancement of Civil Society, Jakarta. Sebelumnya Rumadi beberapa kali terlibat dalam diskursus terbuka mengenai kerumitan-kerumitan di seputar agama dan negara dengan beberapa penulis dan pemikir lainnya seperti Denny J.A. dan H. Ahmad Soemargono.
Azyumardi Azra adalah lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta. Kemudian dengan beasiswa Fulbright dan bantuan sponsor lainnya, ia melanjutkan studi di Departemen Sejarah, Columbia University, New York, Amerika Serikat. Salah satu karya terpentingnya adalah buku yang diterbitkan dari disertasi PhD-nya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1994).
M. Atho Mudzhar adalah lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris Menteri Agama pada jaman Munawir Sjadzali, sebelum ia akhirnya meneruskan studinya dan pada tahun 1990 meraih gelar PhD di bidang kajian keislaman dari University of California at Los Angeles, AS dengan menulis disertasi yang berjudul, “Fatwas of the Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988.” Ia juga pernah menuliskan pengalaman belajarnya sewaktu di AS dalam bukunya, Belajar Islam di Amerika (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992).
M. Din Syamsuddin adalah alumnus IAIN Jakarta dan mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS. Ia dikenal sebagai aktifis Muhammadiyah, dan pernah aktif sebagai Ketua Litbang Golongan Karya. Kini ia memangku jabatan sebagai Dirjen Binapenta, Departemen Tenaga Kerja RI.
Masykuri Abdillah adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia meraih gelar Doktor dalam bidang kajian keislaman pada tahun 1995 dari Hamburg University, Jerman dengan disertasi berjudul, “Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy 1966-1993.”
Mulyadhi R. Kartanegara menyelesaikan program doktornya di Department of Near Eastern Languages and Civilizations, University of Chicago, AS pada tahun 1996.
M. Amin Abdullah menamatkan studi S3-nya di METU, Turki. Kini ia mengajar di IAIN Yogyakarta dan dikenal sebagai intelektual dan aktifis Muhammadiyah.
Akhmad Minhaji alumnus IAIN Yogyakarta, mendapatkan gelar doktor dari IIS, McGill University tahun 1997.
Faisal Ismail adalah doktor lulusan Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, pada 1995. Untuk karyanya, lihat, “Pancasila as the Sole Basis for all Political Parties and all Mass Organizations: an Account of Muslims’ Responses,” Studia Islamika, Vol. III, No. 4, 1996.
Syafiq Mughni mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS.
Thoha Hamim meraih doktor dari IIS, McGill University tahun 1996.
Abdurrahman Mas’ud mendapatkan gelar doktor dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS tahun 1997.
A. Qodri Azizi menyelesaikan gelar doktornya dari Department of Near Eastern Languages and Civilizations, University of Chicago, AS pada tahun 1996.
Nur Ahmad Fadhil Lubis menyelesaikan program doktornya di University of California at Los Angeles, AS. Kini ia menjabat Direktur Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan. Mengenai karyanya, lihat “Institutionalization and the Unification of Islamic Courts under the New Order,” Studia Islamika, vol. II, No. 1, 1995.
Munawir Sjadzali diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1983, dan menjabat sebagai pembantu Presiden di bidang keagamaan pada Departemen Agama selama dua periode. Ia adalah lulusan madrasah Mamba’ul Ulum, Surakarta, Jawa Tengah. Ia mendapatkan gelar di bidang ilmu politik dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington D.C., Amerika Serikat pada 1959. Sebelum menjabat Menteri Agama, beliau adalah seorang diplomat senior yang telah bergabung dengan Kementrian Luar Negeri RI selama lebih dari 30 tahun. Ia dianggap membawa pengaruh yang besar di dalam perubahan visi dan orientasi studi IAIN, sehingga lembaga ini lebih terbuka, dan bahkan menjalin kerjasama berupa pengiriman tenaga pengajar muda IAIN untuk belajar di, setidaknya, dua universitas yang terkenal dengan kajian keislaman di Barat, yaitu Leiden University, Belanda dan McGill University, Montreal Kanada. Untuk biografi tokoh ini, lihat Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, MA: Pencairan Ketegangan Ideologis,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: Balitbang Depag, PPIM dan INIS, 1998).
Zamakhsyari Dhofier, “The Intellectualization of Islamic Studies in Indonesia,” Indonesia Circle, No. 58, Juni 1992.
Lebih tepatnya, program ini disebut Zamakhsyari Dhofier dengan istilah “Pre-departure training programme for overseas post-graduate studies for IAIN graduates.” Di kalangan IAIN sendiri, program ini lebih dikenal dengan istilah “cados”—singkatan dari “pembibitan calon dosen.” Sejak dimulainya program ini pada tahun 1988 sampai 1998 telah mendidik sekitar 320 orang dosen muda (lulusan S-1) IAIN se-Indonesia yang secara sengaja dipersiapkan untuk sekolah ke luar negeri, khususnya Barat. Sejak tahun 1997-1998, program ini menerima peserta program bahasa Arab, dengan tujuan untuk disekolahkan ke Timur Tengah. Dalam perkiraan sementara, antara 40-50 per sen (sekitar 150 orang) dari mereka berhasil melanjutkan studinya ke berbagai universitas di Barat seperti McGill University (lewat kerjasama McGill-IAIN), Leiden University (lewat kerjasama IAIN-INIS Belanda), dan beberapa universitas di Inggris Raya (lewat beasiswa the British Chavening Awards), Amerika Serikat (lewat beasiswa Fulbright dan Humprey Fellowship), Jerman (beasiswa pemerintah Jerman), dan Australia (lewat beasiswa AUSaid dan ASTAS). Yang lainnya, banyak meneruskan sekolah S-2 di dalam negeri, seperti pada program pascasarjana di berbagai IAIN, atau di pelbagai Universitas Negeri seperti IPB, UI dan UGM.
Hal ini, misalnya, ditandai dengan munculnya beberapa perusahaan penerbit yang, nampaknya, secara khusus mempublikasikan buku-buku keislaman. Sejak awal tahun 1980-an, publik peminat buku di Indonesia mengenal buku-buku keislaman terbitan penerbit Mizan, Pustaka (Bandung), Shalahuddin Press (Yogyakarta), dan belakangan pada akhir 80’an dan awal 90’an, muncul juga beberapa penerbit yang turut meramaikan bursa buku-buku keagamaan dan keislaman di Indonesia, seperti LKiS (Yogyakarta), Pustaka Hidayah dan Rosda Karya (Bandung).
Lihat, Daftar Tulisan Mahasiswa, Dosen dan Alumni IAIN sejak Tahun 1995-2000 di Tujuh Media Cetak (Jakarta: Tim Peneliti Impact Study LPIU, IAIN Jakarta, 2000).
Studia Islamika adalah jurnal ilmiah yang mengkhususkan diri dalam kajian Islam Indonesia dan Asia Tenggara—Indonesian Journal for Islamic Studies—dan diterbitkan empat kali setahun oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak dipimpin oleh Dr. Azyumardi Azra pada tahun 1994, jurnal ini telah terbit secara reguler dan kontinyu dengan menampilkan berbagai tulisan berbobot di bidangnya, buah karya penulis dalam negeri dan luar negeri—sejumlah ahli Islam di Indonesia kontemporer, seperti Martin van Bruinessen (Belanda), Howard M. Federspiel, Robert W. Hefner dan John R. Bowen (Amerika Serikat), Greg Barton (Australia), dan AndrĂ©e Feillard (Perancis) telah menulis di jurnal ini. Meskipun jumlah pembacanya terbatas kepada peminat serius kajian keislaman, Studia Islamika dibaca secara cukup luas dan sering digunakan sebagai referensi, utamanya oleh kalangan mahasiswa pascasarjana IAIN. Di luar negeri, jurnal ini dilanggan oleh setidaknya 80 lembaga kajian dan universitas di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara.
Kelompok studi Formaci dan Piramida Circle, sampai tulisan ini dikerjakan, masih tetap eksis dan para aktifisnya banyak yang berasal dari IAIN Ciputat. Menurut beberapa informasi, kelompok studi Respondeo kini sudah tidak aktif lagi. Belakangan, dalam satu tahun terakhir, muncul juga beberapa kelompok studi baru di Ciputat, seperti Makar dan ISAC (Indonesian Studies and Advocacy Center).
LKiS belakangan ini dikenal sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual muda NU, yang sangat progresif dan terkadang cenderung liberal. Sejumlah aktifis lembaga ini tercatat sebagai mahasiswa dan alumni IAIN Yogyakarta. Lembaga ini juga telah muncul menjadi salah satu pemasok buku-buku keislaman dan sosial, utamanya yang bertemakan NU, Gus Dur, civil society dan demokratisasi—sebagian tema yang menarik bagi perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Pada Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri pada akhir tahun 1999 yang lalu, beberapa anggota kelompok muda NU mengadakan semacam “muktamar tandingan” dengan menggelar diskusi dan membahas beberapa tema yang dianggap tidak mendapatkan tempat di muktamar resmi. Secara bergurau, beberapa teman muda NU menceritakan sikap antipati dari sebagian dari kalangan kiayi tua NU terhadap gerakan kultural generasi muda NU, yang menyebut LKiS bukan sebagai “Lembaga Kajian Islam dan Sosial”, tetapi “Lembaga Koq Isinya Setan.” Sebagian dari aktifitas generasi muda NU ini terekam dengan baik dalam Hairus Salim & Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida, Anak Muda NU di Jalur Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Untuk mengkaji beberapa contoh, lihat Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir, Mencari Islam: Biografi Intelektual Generasi Muslim 1980an. Buku ini merupakan hasil kerjasama dengan Formaci.
Untuk penjelasan yang tuntas mengenai fenomena ini, lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995).
Lihat, misalnya, kritikan dari Muhammad Wahyuni Nafis, “Kebangkitan Islam, Apanya?,” Kompas, 14 Juni 1994.
Yayasan Wakaf Paramadina, 31 Oktober 1986-31 Oktober 1996: Profil 10 th (Jakarta: Paramadina, 1996).
Bahtiar Effendy, “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia,” Ph.D Dissertation. Columbus, OH: Ohio State University, 1994, halaman 60.
Paramadina menawarkan beberapa paket kajian keislaman, baik berupa pengajian bulanan—yang sering disebut Klub Kajian Agama (KKA), dan diadakan di hotel-hotel berbintang—maupun kursus-kursus dan kuliah dengan topik bahasan tertentu, seperti Filsafat dan Peradaban Islam, Tasawuf dan pengantar studi Islam.
Salah satu jamaah (peserta) KKA yang beragama lain adalah alm. Pendeta Victor Tanja, salah seorang tokoh intelektual Protestan terkemuka.
Source: http://www.ditpertais.net/artikel/dadi01.asp
14 Januari 2008
IAIN DALAM WACANA INTELEKTUAL ISLAM INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar