18 Januari 2008

ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI (1)

Di antara perbendaharaan kata dalam agama Islam ialah iman,
Islam dan ihsan. Berdasarkan sebuah hadits yang terkenal,
ketiga istilah itu memberi umat Islam (Sunni) ide tentang
Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang
penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Dalam
penglihatan itu terkesan adanya semacam kompartementalisasi
antara pengertian masing-masing istilah itu, seolah-olah
setiap satu dari ketiga noktah itu dapat dipahami secara
tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.

Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam
mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-Islam) tidak absah
tanpa iman (al-iman), dan iman tidak sempurna tanpa ihsan
(al-ihsan). Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan
iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam. Dalam telaah
lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga
istilah itu terkait satu dengan yang lain, bahkan tumpang
tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung
makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam dan
ihsan, dalam Islam terdapat iman dan ihsan dan dalam ihsan
terdapat iman dan Islam. Dari sudut pengertian inilah kita
melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.

Trilogi itu telah mendapatkan ekspresinya dalam banyak segi
budaya Islam. Arsitektur masjid Indonesia yang banyak diilhami
oleh, dan pinjam dari, gaya arsitektur kuil Hindu, mengenal
adanya seni arsitektur atap bertingkat tiga. Seni arsitektur
itu sering ditafsirkan kembali sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat
dasar atau permulaan (purwa), tingkat menengah (madya) dan
tingkat akhir yang maju dan tinggi (wusana). Dan ini dianggap
sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan, selain
juga ada tafsir kesejajarannya dengan syari'at, thariqat dan
ma'rifat. Dalam bahasa simbolisme, interpretasi itu hanya
berarti penguatan pada apa yang secara laten telah ada dalam
masyarakat.

Berikut ini kita akan mencoba, berdasarkan pembahasan para
ulama, apa pengertian ketiga istilah itu dan bagaimana
wujudnya dalam hidup keagamaan seorang pemeluk Islam.
Diharapkan bahwa dengan memahami lebih baik pengertian
istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap
makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.

Pembahasan secara berurutan pengertian istilah-istilah di atas
- pertama Islam, kemudian iman dan akhirnya ihsan - dilakukan
tanpa harus dipahami sebagai pembuatan kategori-kategori yang
terpisah - sebagaimana sudah diisyaratkan - melainkan karena
keperluan untuk memudahkan pendekatan analitis belaka. Dan di
akhir pembahasan ini kita akan mencoba melihat relevansi
nilai-nilai keagamaan dari iman, Islam dan ihsan itu bagi
hidup modern, dengan mengikuti pembahasan oleh seorang ahli
psikologi yang sekaligus seorang pemeluk Islam yang percaya
pada agamanya dan mampu menerangkan bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan Islam.

MAKNA DASAR ISLAM

Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke
dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum
masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks
firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan
"Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam,
iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam
ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai
dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah, "Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas
dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir
35:32). Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan
Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada
ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat
permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran
itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi
"pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang
muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat
ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi
nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah
proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu
yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam
Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang
aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini
sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap
itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan
diterima Tuhan: "Sesungguhuya agama bagi Allah ialah sikap
pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19). Maka selain
dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam,
perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara
lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu
"pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan
karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah dasar
pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar adalah
agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap
pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan
dari firman.

Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut
Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik,
kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada
mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan
kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami
dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah
kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun"
dalam firman itu lebih tepat diartikan menurut makna
generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi
seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun
dalam makna asalnya juga menjadi kualifikasi para pemeluk
agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga
diisyaratkan dalam firman,

Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal
telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada
di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa,
dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami
percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada
kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq,
Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada
Musa dan 'Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain
sikap pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di
akkirat termasuk orang-orang yang merugi. (QS. 'Alu-'lmran
3:85).

Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah
(muslimun) itu mengatakan yang dimaksud ialah "mereka dari
kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak
mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala
sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar
al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1, hal. 380). Sedangkan
al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai
"mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan
mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid)
dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf
[Teheran: Intisharat-e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442). Dari
berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa
sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai
"muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak
bakal diterima oleh Tuhan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI (1)”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra