Syamsul Kurniawan MR
Islam Intelektual-(Padang News Online)-Alumni Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tiupan angin neo-liberalisme berhembus sangat kencang seiring dengan gelombang globalisasi yang melanda dunia saat ini. Neoliberalisme juga sungguh menakutkan. Paham ini terus bermetamorfosis dalam berbagai bentuk karena manusia ingin merasakan kebebasan dalam kehidupan mereka.
Akibat dari menguatnya paham neo-liberal tersebut, muncullah gerakan-gerakan pembebasan yang mengatasnamakan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), emansipasi kaum perempuan, dan sebagainya. Budaya populer yang terus-menerus diembuskan oleh penganut paham neo-liberal juga berdampak pada perubahan perilaku sosial dan keagamaan di masyarakat.
Jilbab gaul
Fenomena jilbab gaul yang sedang marak sebagai satu model pakaian Muslimah, yang mencoba mengawinkan perkembangan dalam dunia mode dengan pakaian Muslimah, menurut penulis, juga merupakan dampak lain dari menguatnya paham neo-liberal di tengah-tengah kita. Jilbab yang berhadapan dengan industri fesyen, dilihat sebagai komoditas dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand).
Melalui model ini, industri fesyen tampaknya menginginkan model pakaian sesuai tren terbaru yang tidak kehilangan identitas keislamannya. Tapi, dalam perkembangannya, jilbab gaul ini mengundang pro dan kontra karena jilbab semacam ini memperkenalkan bentuk pakaian yang kurang lazim dipakai seorang Muslimah, yaitu jilbab yang dililitkan ke leher, selanjutnya dipadukan dengan blus ketat, celana jins ketat sehingga diharapkan menampilkan lekuk-lekuk tubuh yang indah.
Padahal, mengutip Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab (tth.), pengertian jilbab yang lazim adalah berupa selendang atau pakaian lebar yang dipakai kaum wanita untuk menutupi kepala, punggung, dan dada. Imam Raghib dalam al-Mufradat fii Gharib al-Qur‘an mengartikan jilbab sebagai pakaian longgar yang terdiri dari baju panjang dan kerudung yang menutupi badan, kecuali wajah dan telapak tangan.
Marak di kampus Islam
Celakanya fenomena jilbab gaul ini juga melanda lembaga-lembaga perguruan tinggi agama Islam, seperti yang terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN), terutama pascakonversinya dari IAIN ke UIN. Fenomena jilbab gaul di UIN, contohnya, juga menguatkan dugaan sebagian orang bahwa neoliberalisme juga sudah menggurita di perguruan-perguruan tinggi agama Islam.
Akibatnya, banyak orang di luar UIN memandang negatif proses pendidikan yang dikembangkan di UIN, yang dinilai kebarat-baratan, di mana nilai dan norma-norma keislaman harusnya bisa ditegakkan dan bisa dikontrol di perguruan tinggi agama Islam negeri. Sebagian yang lain memandang ada penyesatan di UIN.
Pandangan ini bisa saja benar dan bisa juga sangat salah, tergantung dari mana kita memandangnya. UIN sebagaimana umumnya lembaga pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tecermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan.
Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Di samping itu, UIN sebagaimana lembaga pendidikan Islam yang lain adalah jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan atas program studi yang diselenggarakan. Dengan begitu, mengingat posisinya sebagai lembaga yang memikul tanggung jawab syiar keislaman, sudah semestinya Islam ditempatkan sebagai sumber nilai oleh orang-orang yang berada di dalam institusi tersebut.
Tapi, sebagaimana yang sudah penulis sampaikan, UIN maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, hanyalah korban dari paham neoliberal yang sudah sangat menggurita di perguruan-perguruan tinggi di negeri ini. Apalagi, kalau proyek otonomi kampus dilancarkan secara sungguh-sungguh dan berlangsung sukses, dapat diramalkan bahwa paham neoliberal akan sulit dibendung, apalagi dilawan.
Di UIN sendiri akan ada bidang studi yang supergiat, gemilang, dan bergengsi. Sementara, ada sejumlah bidang studi yang sangat merana, merayap-rayap, dan pada akhirnya punah. Bisa jadi yang punah di UIN pada masa tersebut adalah bidang-bidang studi keagamaan yang tidak lagi diminati oleh orang-orang Islam sendiri, sementara orang-orang akan berbondong-bondong memilih bidang studi non-keagamaan yang lebih menjanjikan peluang kerja.
Kalau demikian, masa depan jilbab syar’i di UIN makin lama akan makin surut, sementara jilbab gaul makin diminati oleh orang-orang di lingkungan UIN seiring sejalan dengan mati atau punahnya program-program studi di UIN nanti. Jika sudah terjadi seperti itu, sungguh sangat memprihatinkan nasib pendidikan agama Islam di negeri ini di masa depan yang tak lagi mampu membendung pengaruh buruk dari paham neoliberal.
Jilbab gaul hanyalah contoh pada hari ini, di samping maraknya pemikiran liberal oleh alih-alih dan cendekiawan Islam di negeri ini. Besok apa lagi?
30 Maret 2008
Budaya Berjilbab dalam Kurungan Neo-Liberalisme
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar