oleh Nurcholish Madjid
Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari
ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang
diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari
Mekkah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi
Madinah- hingga saat sekarang ini dalam wujud
sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam
Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan
masalah kenegaraan.
Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan
negara, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal
yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pembicaraan hubungan
antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam
suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan
agama dan negara dalam Islam adalah yang paling mengesankan
sepanjang sejarah umat manusia. Kedua, sepanjang sejarah,
hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan
ekspansi militer-politik Islam klasik yang sebagian besar
atas kerugian Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah
dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan
kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa
dan dunia Kristen saat itu), kemudian Perang Salib yang
kalah-menang silih berganti namun akhirnya dimenangkan oleh
Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai
oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai
yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia
Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi
karena dalam fasenya yang terakhir Dunia Islam dalam posisi
"kalah," maka pembicaraan tentang Islam berkenaan dengan
pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh."
Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik
tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh
sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai
"kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran.
Saudi Arabia, sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali
aliran Wahabi, banyak menggunakan retorika yang keras
menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.
Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena
tunduk kepada kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua
itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber
legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut
dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi
masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti
bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi
ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar,
atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu
yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya
itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.
Eksperimen Madinah
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah
diberikan teladannya oleh Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah
dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par excellence).
Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya
itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya
tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas
sosial-politik, yaitu sebuah negara.
Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh
Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka,
adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam
Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam
kontemporer terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai
"Eksperimen Madinah."
Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah
menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik
yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau
kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui
musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber
wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan
lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang
prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud
historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen
Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq
al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana
modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi
Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn
Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).
Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari
Universitas Islam Internasional Paris "yang paling
menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu
ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal
umat manusia."
Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu
tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh
prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan
dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang
dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)
Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama
tiga hari jenazah Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah
menjadi agak kabur oleh adanya polemik-polemik yang sengit
antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim
bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah
pengganti Nabi, yang kemudian mereka bersepakat memilih dan
mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, mengklaim bahwa yang
terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu,
dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus
tugas suci Nabi.
Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi
didasarkan antara lain pada makna
06 Desember 2007
AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM (1/2)
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar