10 Desember 2008

DEFINISI TASAWUF

By: Riwayat

Islam intelektual-Dalam memberikan batasan (mendefinisikan) tasawuf. kebanyakan
condong pada segi akhlak. Kencenderungan ini telah tersebar. s:k di lingkungan kaum sufi sendiri maupun para peneliti dan sejarawan
tasauf . Di sini akan kami sebutkan beberapa contoh kecenderungan

Syeikh Abu Bakar Muhammad Al-Kattani (wafat tahun 322 H) 1) berkata, ‘Tasawuf adalah akhlak maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatmya).”
A r-Risalah Al-Qusyairiyyah meriwayatkan, “Ketika Abu Muhammad Al-Jariiri (wafat tahun 311 H) 2) ditanya tentang tasawuf’, ia menjawab:

Artinya:
“Tasawufberarti mernasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dan setiap akhlak yang tercela.
Salah satu definisi yang dikemukakan Abul Husain An-Nun (wafat tahun 295 H), sebagaimana disebutkan dalam kitab Tadzkiratul Auliyaa, merupakan pcnyangkalannya dan mereka yang mengatakan bahwa tasawuf merupakan bentuk atau suatu ilmu. Ia memberi batasan bahwa tasawuf adalah akhlak. Abul Husain An-Nun Rahirnahumullah berkata. “Tasawuf bukan merupakan suatu bentuk atau ilmu, tetapi ia adalah akhlak. Jika tasawuf merupakan suatu bentuk, tentu ia akan dapat dicapai dcngan perjuangan. Begitu juga jika tasawuf itu merupakan suatu ilmu tentu dapat dicapai dengan cara belajar. Namun, tasawuf berakhlak dengan akhlak Allah, sedangkan akhlak Ilahi tidak akan dapat dicapai dengan ilmu atau gambaran (rasman) .“
Syeikh Abul Husain An-Nun 3) juga memberi batasan dalam definisi
yang lain, yaitu akhlak yang membentuk tasawuf:

Artinya:
Tasawuf adalah kernerdekaan, kern urahan, tidak membebani diri, serta
dermawan.”
Kecenderungan pada segi akhlak dalam mendefinisikan tasawuf ini tersiar di Timur maupun di Barat, dan terkenal sejak zaman dulu hingga kini.
Meskipun begitu, ia tidak mengungkap tasawuf secara terinci.

Sekalipun menvebut definisi tasawuf dan segi akhlak, mereka juga menvebut definisi lain, yang setidak-tidaknva menunjukkan sesuatu yang tidalc meragukan. vaitu mereka tidak merasa cukup pada segi akhlak dalam membuat batasan tentang tasawuf. serta dalam mendefinisikannya. Yang jelas, bila kami melihat pada pribadi-pribadi yang ternama dalam segi keluhuran akhlak dan memiliki sifat-sifat akhlak paling indah. serta mengambil keutamaan tertinggi sebagai madzhab dan pedoman, itulah pribadi-pribadi yang bisa kami teladani dalam hngkungan akhlak dan masyarakat. Narnun. bukan berarti mereka hams dan golongan sufi.
Seandainya melihat pada masyarakat Yunani, kita akan inendapati seseorang yang menyeru pada keutamaan dan bertujuan demikian. serta berusaha menyiarkan dengan berbagai cara. Yang demikian ini sama halnya dengan dakwah yang meyakinkan. atau logika yang mengarah pada perdebatan, atau peneladanan yang sangat mulia. Dialah Socrates. Meskipun begitu, Socrates bukanlah seorang sufi dengan arti yang tepat pada kata shufi.
Jika melihat pada masyarakat Islam. kita akan mendapatkan Imam AlHasan Al-Bashri. semoga Allah meridainya. Ta adalah pribadi yang cemerlang dan sun teladan yang benar bagi akhlak luhur. serta dalam kesucian dan kejemihannya. Ia selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang berpengaruh dan ucapannya yang mantap. serta suluk-nya yang dijadikan sebagai contoh. Meskipun begitu. Al-Hasan AlBashri bukanlah seorang sufi dalam arti yang tepat pada kata shufi.
Berdasarkan suatu akhlak yang luhur merupakan dasar tasawuf. dan akhlak dalam bentuknva yang paling tinggi adalah buah tasawuf. Tentu saja. suatu akhlak yang utama merupakan semboyan sufi. di antara dasar dan buahnya. Dengan demikian. akhlak akan selalu menyertai para sufi. Namun, bukan berarti akhlak tersebut adalah tasawuf.
Yang perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah berikut ini.
Pertama, pada waktu yang lalu ada kecenderungan mendefinisikan tasawuf dengan zuhud. Ketika orang mendengar kata tashawwuf ia pasti akan memahami makna zuhud. Adapun kata
shuji diartikan sebagai zuhud terhadap dunia. Hal yang tidak mungkin diragukan lagi. yaitu para sufi ialah orang-orang yang hatinva tidak lagi berkaitan dengan keduniaan, sekalipun ia merupakan seorang jutawan. Zuhud pada dunia merupakan sesuatu yang lain. dan tasawuf pun merupakan perkara yang lain lagi. Tidak lazim bahwa :ahid-nya seorang sufi berarti kezuhudan bagi tasawuf.
Kedua, orang yang mencampuradukkan antara seorang sufi dan seorang
abid (ahli ibadah). Jika mereka melihat atau mendengar tentang orang yang
anvak melakukan ibadah, mereka akan menyebutnya sebagai seorang sufi.

Padahal ada pula pribadi-pribadi yang menegakkan shalat fardu. memperbanyak sunah dan menekuni ibadah. namun bukan berarti mereka adalah golongan sufi.
Karena banyaknya orang yang mencampuradukkan antara seorang zahid, ‘abid, dan
sufi, lbnu Sina berusaha membedakan ketiga golongan tersebut dan tujuannya masing-masing. Ibnu Sina dalam kitabnya AlJsyaarah menyebutkan:
1. Seorang yang menjauhi kescnangan dan kenikmatan duniawi dinamakan az-zahid.
2. Seorang yang menekuni ibadah-ibadah dengan shalat, puasa. dan lain- lain dinamakan ‘abid.
3. S eorang yang memusatkan pikirannya pada kesucian Tuhannya dan mengharap terbitnya cahaya Al-Haqq dalam hatinya dinamakan a! ‘arif
Al- ‘arifini
adalah ash-shufi.
Kemudian Ibnu Sina mengatakan (sebagaimana dikatakan selain Ibnu Sina), “Seorang zahid adakalanya seorang ‘abid. Begitu pula, seorang ‘abid adakalanya seorang zahid. Akan tetapi, kezuhudan dan ibadah yang ada dalam satu pribadi secara bersamaan bukan berarti menunjukkan bahwa pribadi tersebut seorang sufi.”
Di samping itu, ada perbedaan yang pasti antara kezuhudan ibadah seorang sufi dan kezuhudan ibadah orang yang bukan sufi. Namun, perbedaan ini lebih banyak terdapat dalam tujuan daripada dalam cara dan alannya.
Rabi’ah Al-Adawiyyah —semoga Allah meridainya— tclah mcmbicarakan hal itu dengan cara yang mengesankan. Semua telah sepakat bahwa kezuhudan seorang yang bukan sufi bertujuan untuk dapat menikmati urusan akhirat. Hal itu sejenis muamalah, yaitu seakan-akan ia menjual kesenangan dunia untuk mendapat imbalan kesenangan akhirat. Adapun kezuhudan seorang sufi bertujuan untuk membersihkan din dan sesuatu yang dapat melalaikannya dan Allah ‘Azza wa Jalla.
Tbadah orang yang bukan sufi bertujuan untuk dapat masuk surga. Seakan-akan ia beramal di dunia ini untuk rnengharap upah yang kelak akan diterimanya di akhirat, yaitu ganjaran dan pahala, seperti seorang yang bekerja sepanjang han untuk mendapatkan upah pada sore harinya. Adapun ibadah orang sufi bertujuan mengekalkan hubungan dirinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ta beribadah menyembah Allah karena hanya Allah-lah yang patut untuk disembah. Jadi, ibadahnya merupakan hubungan yang utama dengan Allah Ta’ala, bukan untuk mengharap sesuatu ataupun karena takut akan sesuatu.

Komentar :

ada 0 komentar ke “DEFINISI TASAWUF”

Reader Community

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra